Pembangunan kesenian di Indonesia saat ini sedang terpuruk. Bahkan celah untuk memecahkan keterpurukkan itu sendiri hampir tidak ada. Proses berkesenian kita kini menemukan jalan buntu yang mau tak mau harus menemui jalan keluar.
Adanya pengambilan hak milik dalam bidang kesenian dari negara tetangga adalah bukti bahwa kita sebagai bangsa Indonesia kurang bisa mempertahankan dan menjaga eksistensi kesenian yang tumbuh berkembang di negara kita. Contoh yang pernah dikemukakan oleh Sapto Raharjo, seorang seniman Jogja yang concern dengan gamelan dan anak muda, ketika George Bush datang ke Indonesia beberapa pekan lalu ia tak disambut dengan kesenian tradisional Indonesia padahal ketika Bush melakukan kunjungannya ke Singapura, ia disuguh dengan tabuh-tabuhan gamelan Jawa.
Banyak pakar baik dari seniman, tenaga pengajar, pengamat seni sampai masyarakat awam yang paham akan seni mencoba untuk mencarikan jalan keluar bagi kebuntuan seni ini. Bukan saatnya bangsa kita hanya "melihat" tapi "bertindak".
Pemilik Sri Sasanti Gallery, Edi Prakoso, mengungkapkan untuk keluar dari keterpurukkan ini maka semua pihak harus saling bersinergi dan bekerja sama. Edi melihat krisis global yang terjadi saat ini menambah beban bagi proses berkesenian kita. Keterlibatan seniman, pakar seni, tenaga pengajar dan masyarakat awam yang peduli seni diharapkan juga dapat bekerja sama dengan sebuah "institusi seni", Edi menyebut institusi seni ini dengan sebutan art management.
"Art management diharapkan bisa bekerja sama dengan para seniman yang hendak memamerkan karya-karya mereka. Jangan hanya bertujuan untuk "menjual" saja. Tapi memang peduli dengan hasil karya seniman-seniman tadi,"ungkapnya dalam diskusi panel "Membangun Sinergi untuk Kesenian" yang diadakan majalah Arti yang bekerja sama dengan Bentara Budaya Yogyakarta (3/12) .
Art management ini juga harus berbentuk badan hukum. Menurut Edi legalitas berkesenian juga dibutuhkan, jadi setidaknya art management yang menampilkan karya-karya seniman ini berbentuk sebuah Perseroan Terbatas (PT). Art management ini juga harus punya wawasan program jangka panjang. "Untuk presentasi global bagi seniman dan karyanya agar mencapai apresiasi global,"tambahnya.
Di lain pihak seorang tenaga pengajar dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Hajar, mengungkapkan bahwa pendidikan seni harus dimulai dari sekolah-sekolah. "Proses berkesenian anak-anak paling banyak hanya di dapatkan di Taman Kanak-kanak (TK)," ujarnya. Kebebasan mengekspresikan warna pun dikebiri. Apa benar gunung warnanya biru dan burung harus berwarna hitam?
Menurut hajar, pendidikan yang didapat anak-anak sekarang adalah pendidikan intelektual yang hanya bermain pada angka dan statistik. Pendidikan rasa yang dibutuhkan dalam berkesenian akhirnya tergantikan dengan njlimet-nya matematika dan fisika. Oleh karena itu Hajar juga mengharapkan peran dari berbagai pihak tadi. "Jangan hanya memikirkan diri sendiri. Karena rasa dalam berkesenian itu dimulai dari masyarakat dan milik bersama,"tutupnya.
Adanya pengambilan hak milik dalam bidang kesenian dari negara tetangga adalah bukti bahwa kita sebagai bangsa Indonesia kurang bisa mempertahankan dan menjaga eksistensi kesenian yang tumbuh berkembang di negara kita. Contoh yang pernah dikemukakan oleh Sapto Raharjo, seorang seniman Jogja yang concern dengan gamelan dan anak muda, ketika George Bush datang ke Indonesia beberapa pekan lalu ia tak disambut dengan kesenian tradisional Indonesia padahal ketika Bush melakukan kunjungannya ke Singapura, ia disuguh dengan tabuh-tabuhan gamelan Jawa.
Banyak pakar baik dari seniman, tenaga pengajar, pengamat seni sampai masyarakat awam yang paham akan seni mencoba untuk mencarikan jalan keluar bagi kebuntuan seni ini. Bukan saatnya bangsa kita hanya "melihat" tapi "bertindak".
Pemilik Sri Sasanti Gallery, Edi Prakoso, mengungkapkan untuk keluar dari keterpurukkan ini maka semua pihak harus saling bersinergi dan bekerja sama. Edi melihat krisis global yang terjadi saat ini menambah beban bagi proses berkesenian kita. Keterlibatan seniman, pakar seni, tenaga pengajar dan masyarakat awam yang peduli seni diharapkan juga dapat bekerja sama dengan sebuah "institusi seni", Edi menyebut institusi seni ini dengan sebutan art management.
"Art management diharapkan bisa bekerja sama dengan para seniman yang hendak memamerkan karya-karya mereka. Jangan hanya bertujuan untuk "menjual" saja. Tapi memang peduli dengan hasil karya seniman-seniman tadi,"ungkapnya dalam diskusi panel "Membangun Sinergi untuk Kesenian" yang diadakan majalah Arti yang bekerja sama dengan Bentara Budaya Yogyakarta (3/12) .
Art management ini juga harus berbentuk badan hukum. Menurut Edi legalitas berkesenian juga dibutuhkan, jadi setidaknya art management yang menampilkan karya-karya seniman ini berbentuk sebuah Perseroan Terbatas (PT). Art management ini juga harus punya wawasan program jangka panjang. "Untuk presentasi global bagi seniman dan karyanya agar mencapai apresiasi global,"tambahnya.
Di lain pihak seorang tenaga pengajar dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Hajar, mengungkapkan bahwa pendidikan seni harus dimulai dari sekolah-sekolah. "Proses berkesenian anak-anak paling banyak hanya di dapatkan di Taman Kanak-kanak (TK)," ujarnya. Kebebasan mengekspresikan warna pun dikebiri. Apa benar gunung warnanya biru dan burung harus berwarna hitam?
Menurut hajar, pendidikan yang didapat anak-anak sekarang adalah pendidikan intelektual yang hanya bermain pada angka dan statistik. Pendidikan rasa yang dibutuhkan dalam berkesenian akhirnya tergantikan dengan njlimet-nya matematika dan fisika. Oleh karena itu Hajar juga mengharapkan peran dari berbagai pihak tadi. "Jangan hanya memikirkan diri sendiri. Karena rasa dalam berkesenian itu dimulai dari masyarakat dan milik bersama,"tutupnya.
Kirim Komentar