Tahun 1997 namanya melambung setelah meraih penghargaan sebagai Best Art Director di Indonesian Cine Club Film Festival untuk film Daun Diatas Bantal. Lalu, tahun 2002 ia kembali memenangkan penghargaan Film Terbaik untuk film berjudul "Gerabah Plastik" di Festival Film Dokumenter Indonesia. Dan pada tahun 2010, film karyanya berjudul "Renita, Renita" memenangkan penghargaan sebagai Film Terbaik di Festival Film India. Ia, Tonny Trimarsanto, memilih jalan hidupnya lewat film dokumenter: yang sepi namun membahagiakan para pelakunya.
Awalnya, pada tahun 1992 Tonny terlibat sebagai penata artistik film-film sutradara Garin Nugroho. Lalu, ia berhenti dan mulai membuat film dokumenter. "Saya lebih tertarik dengan film dokumenter," katanya. "Saya merasa terus-menerus tertantang untuk belajar."
Ia tahu benar respon publik untuk film-film dokumenter tak terlalu menyenangkan. Pada umumnya film jenis ini dianggap sebagai bagian dari propaganda dan bersifat menggurui. "Akhirnya ada semacam trauma sehingga tidak mau menonton," katanya.
"Dan dalam film dokumenter tak ada aktor cantik atau tampan," katanya. "Itu bedanya dengan sinetron di televisi."
Lalu, Tonny mengambil contoh percakapan dari film The Mangoes, Mangga Golek Matang di Pohon (film versi panjag dari film Renita, Renita - red) sebuah film yang mengisahkan perjalanan waria Renita yang memiliki nama asli Muhammad Zein Pundagau dengan segala kebahagiaan, kesedihan, tawa dan air matanya. Dalam salah satu percakapan antara dua waria dikatakan presiden Indonesia tidak ada yang benar. "Jadi saya hanya melempar bola dan merekam dengan kamera
percakapan-percakapan mereka," katanya. "Dan kita tahu percakapan itu
pengetahuan mereka."
"Cobalah bayangkan ketika Anda lahir sebagai transeksual," katanya. " Anda pasti tidak mau sekolah." Lalu, akibat berikutnya ialah tertutupnya akses ekonomi.
"Yang terjadi ialah mereka (waria-red) menjadi PSK (pekerja seks komersial-red) atau pegawai salon," katanya. " Apakah Anda pernah melihat tentara waria, polisi waria, pns waria atau guru waria."
Masalah klasik yang terus menghadang dalam pembuatan film dokumenter ialah minimnya dana. Menurutnya, selain mencari pendonor, film ini kerap dibiayai tabungan pribadi. "Kondisinya semakin ringan ketika teknologi perekaman semakin murah," katanya.
Seperti halnya dalam pembuatan film The Mangoes, Manggo Golek Matang di Pohon. "Film itu dikerjakan di lokasi oleh dua orang," katanya. "Saya sebagai kameramen dan seorang lagi yang membawa tas dan tripod."
"Besok saya akan membuat film tentang satu suami dengan 12 istri," katanya.
Bulan semakin tinggi. Malam itu Festival Film Dokumenter 2012 di Yogyakarta dibuka cerita indah namun pedih waria Renita.
Kirim Komentar