Hiburan

Agus Iswanto: Saya Bisa Nangis Kalau Motor Ini Dijual

Oleh : Albertus Indratno / Sabtu, 20 Agustus 2016 01:20
Agus Iswanto: Saya Bisa Nangis Kalau Motor Ini Dijual
Agus Iswanto bersama sepeda motornya Jawa Cz buatan tahun 1954 saat acara Djogjantique Day 2016 yang diadakan komunitas Motor Antik Club Yogyakarta di lapangan Jogja Adventure Zone.


Yogyakarta, Indonesia – www.gudeg.net Urusan hobi kadang di luar akal sehat. Asal hati senang, apapun diterjang. Termasuk saat harus membangun dan menghidupkan motor yang umurnya lebih dari setengah abad.

Namanya Agus Iswanto. Pria bertubuh kurus, berambut gondrong yang sehari-hari bekerja sebagai mekanik di bengkel di daerah Paingan, Sleman, Yogyakarta ini bercerita kisahnya mendapatkan motor bermerek JAWA CZ buatan tahun 1954 kepada tim gudeg.net saat ditemui di acara Djogjaantique Day 2016 di lapangan Jogja Adventure Zone, Yogyakarta pada Jumat (19/8).

“Jawa itu singkatan pembuatnya,” katanya. “Apa ya.” Ia tertawa. Menurut direktori bebas wikipedia. org, Jawa 350 merupakan sepeda motor yang dibuat pabrik Jawa Moto di Cekoslovakia sampai tahun 1992. Sepeda motor ini bisa mencapai kecepatan sampai 132 kilometer per jam.

Pada sekitar tahun 1950 sepeda motor ini diekspor ke lebih 120 negara di dunia. Kejayaan Jawa 350 mengingatkan saat masa kejayaan blok negara komunis di benua Eropa bagian timur mulai tahun 1960 sampai 1990.

Saat itu kompetitor motor Jawa 350 adalah German MZ (125 & 250 cc), Simson (250 cc Sport &  Avo), The Romania Mobra (50 cc) serta Soviet Izh (350 cc). Saat itu belum ada penetrasi pabrik-pabrik dari Jepang di negara-negara yang masuk ke dalam wilayah Eropa Timur. Sedangkan awal tahun 1960 dibuat varian baru yaitu Jawa 350 tipe 640.

Sampai sekarang Jawa 350 yang memiliki dua silinder masih diproduksi dengan perubahan teknologi dan desain. Bahkan, motor yang namanya sama dengan pulau di Indonesia itu dijual di Inggris dan dinamai “Classic” serta “Sport.” Pada tahun 2012, Jawa model baru sudah memiliki stater elektrik serta pompa oli otomatis. Selain di negara Ratu Elizabeth, sepeda motor itu juga bisa dibeli di Irlandia serta didistribusikan di beberapa wilayah di Eropa.

Agus mendapatkan motor itu di sekitar daerah Piyungan, Prambanan, Yogyakarta sekitar tahun 2006. Saat itu kondisinya menyedihkan. “Semua ditutup terpal. Velgnya sudah hancur,” katanya. “Sudah hampir jadi tanah.”

“Waktu itu cuma kelihatan buntutnya,” kata Agus. “Wah, kayaknya motor bagus ini.” Ia lalu “nembung” atau meminta kepada pemiliknya. “Untung dikasih,” katanya. Sedangkan berapa nilai perolehannya Agus enggan menyebutkan. Ia menceritakan motor itu rusak karena tidak ada bengkel yang bisa memperbaiki. “Pindah dari satu bengkel ke bengkel lain. Hasilnya nol. Terus dibiarkan mangkrak,”kata Agus.

Setelah mendapat motor itu, ia lalu membawanya pulang dengan cara menarik motor menggunakan tali tambang. “Anehnya, saking lamanya bannya tidak rusak,” katanya. “Cuma keras dan saking kerasnya kayak hancur pelan-pelan.”

Sesampai di rumah Agus mulai memperbaiki motor itu sedikit demi sedikit. Ia mensyukuri diberi kemampuan di bidang bongkar pasang mesin. “Kebetulan saya kerjanya di bengkel,” katanya. “Jadi biaya perbaikannya jauh lebih murah. Sekitar satu jutaan (rupiah).”

“Kalau tidak habisnya (uang) bisa banyak sekali,” katanya.

Ia menyetujui urusan merawat motor antik ini gampang-gampang susah. “Asal hatinya senang dulu,” katanya. “Semuanya jadi gampang.” Termasuk, saat ia harus mencari onderdil yang sudah tidak dijual lagi.

“Solusinya ya dikanibal (dicarikan onderdil yang sejenis) atau dibuatkan yang baru di tukang bubut,” katanya. “Onderdil yang paling sulit itu pompa oli.”

Agus menceritakan ia pernah mengendarai motor “twin port” yang memiliki satu karburasi dan dua knalpot ini sampai ke Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta dan Surakarta. “Wah, rasanya enak mas,”katanya. “Di jalan soul-nya beda”

Baginya yang membuat motor klasik itu beda karena materialnya. Ia bilang, “Ini seperti punya nyawa.” Bahkan, menurutnya meskipun besi kekuatannya menyerupai baja.  Agus lalu memperagakan dengan memukul-mukul tangki bensin. “Sejak pertama beli tangkinya belum bocor,” katanya.

Selain itu, kekuatan motor antik juga pada misinya. Ia menganggap mereka yang menyukai motor antik juga menjadi bagian pelestarian budaya. Baginya, motor tua yang tidak dirawat akan dianggap merepotkan pemiliknya dan dibuang begitu saja. “Padahal, banyak kisahnya motor itu,” katanya.

Lewat motor antik itu Agus juga mendapat keluarga baru. Salah satunya di komunitas Motor Antik Club Yogyakarta. “Saya senang kumpul-kumpul begini,” ujarnya. “Banyak teman tambah saudara.”  

“Semoga motor ini tetap sama saya. Tidak dijual” katanya. “Kalau dijual, besok pas ada acara kumpul-kumpul begini (Djogjantique Day), saya bisa nangis saking kecewanya.”

"Kenapa?"

"Tidak bisa beli lagi. Juga tidak bisa kumpul-kumpul."


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RetjoBuntung 99.4 FM


    UNIMMA FM 87,60

    UNIMMA FM 87,60

    Radio Unimma 87,60 FM


    GCD 98,6 FM

    GCD 98,6 FM

    Radio GCD 98,6 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini