Asma adalah salah satu penyakit kronis yang paling umum pada anak dan mengenai lebih dari 300 juta anak di seluruh dunia. Prevalensi asma pada anak di Indonesia sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada anak usia sekolah menengah pertama. Pencegahan adalah tindakan utama untuk asma, sehingga pengenalan faktor risiko dan koreksinya, adalah tindakan paling awal. Apa yang sebaiknya diketahui?
Cukup banyak faktor risiko asma pada anak yang pernah diteliti, antara lain meliputi perubahan sementara komposisi mikroba pada usus (dysbiosis) selama 100 hari pertama kehidupan bayi, episode mengi dalam 12 bulan sebelumnya, orangtua asma, riwayat eksim, mengi persisten, atopi persisten, rendahnya pendapatan rumah tangga, sensitisasi terhadap putih telur pada usia 1 tahun, kehidupan di Tempat Penitipan Anak (TPA), dan adanya riwayat atopi pada keluarga. Selain itu, juga keragaman jenis mikrobiota tinja pada saat bayi, pengalaman buruk masa kecil, kelebihan berat badan dan kegemukan, paparan antibiotik pranatal dan postnatal, ganggguan kelembaban dan retakan dinding kamar tidur, serta kadar vitamin D yang rendah.
Penelitian dalam ‘the Canadian Healthy Infant Longitudinal Development (CHILD) Study’ pada 319 anak, menyimpulkan bahwa bayi yang berisiko asma menunjukkan adanya perubahan sementara atau transient, mikroba pada usus (dysbiosis) selama 100 hari pertama kehidupan. Penurunan jumlah bakteri normal dalam usus, seperti ‘Lachnospira’, ‘Veillonella’, ‘Faecalibacterium’, dan ‘Rothia’ disertai dengan menurunnya tingkat asetat tinja dan disregulasi metabolit enterohepatik, yang biasanya terjadi karena bayi tidak diberi ASI eksklusif, berisiko untuk asma. Penelitian serupa telah dilakukan di Swedia antara tahun 2001 dan 2005. Dalam penelitian ini bayi menerima bakteri normal dalam usus ‘Lactobacillus reuteri’ atau plasebo setiap hari, dari usia 1-3 hari sampai usia 12 bulan. Rendahnya keberagaman mikroba usus selama bulan pertama kehidupan, berhubungan dengan peningkatan risiko asma.
Lima ratus delapan puluh sembilan anak pada ‘the Cincinnati Childhood Allergy and Air Pollution Study’, diteliti secara kohort prospektif. Asma pada saat anak usia 3 tahun, berhubungan dengan risiko yang signifikan untuk asma pada usia 7 tahun. Selain itu, pendapatan rumah tangga kurang dari US $ 20.000 per tahun, sensitisasi terhadap putih telur pada usia 1 tahun, dan kehidupan di Tempat Penitipan Anak (TPA), dikaitkan dengan risiko asma yang lebih tinggi. Dari 4.089 anak yang lahir di Stockholm, Swedia, antara tahun 1994 dan 1996, telah dianalisis sebanyak 3.251 (80%) anak. Riwayat keluarga atopi, ≥3 episode mengi, mengi yang berlangsung pada tahun pertama dan kedua, dan eksim bayi, adalah faktor risiko independen untuk asma pada saat anak berusia 8 tahun.
Penelitian lain oleh ‘the National Survey of Children’s Health’, pada tahun 2011-2012 oleh CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS), melibatkan 92.427 anak usia 0 sampai 17 tahun. Data dari 6 jenis pengalaman buruk masa kecil dikumpulkan, yaitu peristiwa yang berkaitan dengan perceraian orangtua, kematian, penahanan di penjara, sakit mental, penyalahgunaan alkohol atau obat, dan kekerasan fisik, dengan data sosial ekonomi, demografi, dan asma. Tingginya paparan pengalaman buruk masa kecil pada anak, dikaitkan dengan persentase yang lebih tinggi terjadinya asma dengan odds 1,61. Anak balita dengan 3 jenis pengalaman buruk masa kecil 4 kali lipat akan terjadi asma, meskipun kemungkinan tersebut menurun pada anak yang lebih tua, tetapi tetap 2 kali lipat akan terjadi asma, apabila mengalami 5 jenis pengalaman buruk masa kecil. Sebuah penelitian retrospektif lain telah dilakukan pada anak yang dirawat di rumah sakit karena asma pada tahun 2012, dengan pedoman dari ‘US National Asthma Education and Prevention Program’. Obesitas secara bermakna lebih sering terjadi pada anak asma sedang dan persisten berat, dengan hubungan yang signifikan antara status obesitas dan keparahan asma kronis pada anak.
Penelitian telah dilakukan di Finlandia antara 1996 dan 2004 berdasarkan 4 registrasi kesehatan nasional (Drug Prescription Register, Special Reimbursement Register, Population Register, and Medical Birth Register), dengan 6.690 pasang kasus dan kontrol. Penggunaan antibiotik oleh ibu selama kehamilan, terutama sefalosporin, makrolid, penisilin spektrum luas, dan fenoksimetilpenisilin, dikaitkan dengan peningkatan risiko asma pada anak. Antibiotik yang diberikan kepada bayi selama tahun pertama kehidupan, juga meningkatkan risiko asma. Penelitian kohort lain di Finlandia melibatkan 442 anak yang lahir pada tahun 2002-2005. Anak yang "Pernah" didiagnosis asma oleh dokter, sangat terkait dengan gangguan kelembaban dan retakan dinding kamar tidur anak dan di ruang tamu. Sedangkan kekurangan vitamin D diduga telah menjadi faktor risiko asma. Namun demikian, data yang tersedia tidak mendukung peran vitamin D dalam insiden, prevalensi, atau keparahan asma.
Pencegahan adalah tatalaksana utama untuk asma pada anak, sehingga pengenalan faktor risiko dan koreksinya, adalah tindakan paling awal. Apakah kita sudah melakukannya?
Sekian
*) dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Anggota IDAI Cabang DIY, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161, e-mail : fxwikan_indrarto@yahoo.com
Kirim Komentar