Yogyakarta, Indonesia – www.gudeg.net Sulit rasanya menyaksikan seni tradisi tanpa mengenal cerita yang dulu pernah dihidupi. Seperti halnya kisah Dalem Sopingen di Kotagede, Yogyakarta.
Sebentar lagi, bangunan yang berdiri di sebelah utara pasar Kotagede ini bakal menjadi tempat berlangsungnya pertunjukan musik Pasar Keroncong 2016. Pada bagian tengahnya terdapat pendopo yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus diskusi. Sedangkan halamannya yang luas biasanya digunakan parkir mobil.
“Kalau total luasnya sekitar 4000 meter persegi,” kata Jenthot, generasi kelima dari Raden Amatdalem Sopingi. Kata “Sopingen” sendiri berasal dari nama abdi dalem keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut.
Dalem Sopingen terdiri atas beberapa bagian, antara lain pendapa, dalem, gandhok kiwo dan tengen, gadri di bagian belakang, serta mushola di sisi barat. Untuk atap pendoponya bersusun tiga atau disebut juga Joglo Pengrawit. Sayang, pendopo Sopingen yang indah dijual pada tahun 2000 dan hanya tersisa lantainya saja.
Jenthot yang sehari-hari mengelola restoran Rumah Jawi tersebut bercerita, menurut ingatannya, dulu saat ia masih kecil Dalem Sopingen menjadi tempat persinggahan para bupati sebelum ke keraton. “Yah, semacam tempat transit,” katanya.
Sedangkan papan informasi di pintu masuk menyebutkan memang Dalem Sopingen dulunya kediaman Raden Amatdalem Sopingi. Bersama Raden Amatdalem Mustahal, mereka berdua menjabat juru kunci makam yang bertanggung-jawab kepada Kasultanan Yogyakarta.
Sejak awal, Raden Amatdalem Sopingi sudah menjadikan tempat tinggalnya sebagai ruang terbuka. Saat itu pejabat-pejabat kerajaan singgah ke rumahnya sebelum berziarah ke makam raja-raja di Imogiri, Kotagede.
Selain para raja, tokoh-tokoh politik dari organisasi yang berbeda juga pernah menikmati kediaman itu. Sebut saja HOS Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam), Samanhoedi (Pendiri Sarekat Islam), KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Ki Hajar Dewantoro (Pemimpin Perguruan Tinggi Tamansiswa), bahkan pentolan gerakan komunis seperti Semaun, Alimin serta Darsono juga pernah berpidato di rumah abdi dalem tersebut.
Konsep ruang publik dan egaliter inilah yang tetap dijaga Jenthot. Bahkan, sampai saat ini ia masih mempersilahkan siapa saja untuk datang. “Tidak beli juga tidak apa-apa,” katanya. Sambil bercerita, ia menunjuk tiga orang laki-laki yang bermain gitar. “Nah, itu ada yang dari Palembang,” tuturnya. Ceritanya, mereka “dolan” sambil membantu menyiapkan makanan.
Untuk semakin menarik pengunjung, Jenthot menyediakan menu-menu yang harganya ramah di kantong. Harga minumannya mulai Rp. 4000 sampai Rp. 10.000. Sebut saja Wedang Uwuh, Secangrehe, Kunir Asem, Teh Tarik, serta Sereh Gula Jawa.Sedangkan makanan seperti Brongkos dijual Rp. 12.000,00 dan Rawon senilai Rp. 15.000,00.
“Brongkos yang di sini beda sama di Tempel, Sleman,” katanya. “Di sini tidak ada dagingnya. Hanya kacang tolo, tahu putih dan telur.”
Ditanya perasannya saat Rumah Jawi menjadi tempat dilangsungkannya kegiatan Pasar Keroncong pada 3 Desember 2016 mendatang Jenthot terus terang merasa senang. “Saya seperti promosi dengan sendirinya,” katanya. “Sambil nonton keroncong mereka akhirnya tahu dan makan di sini.”
Penulis : Al. Indratno
Editor : Al. Indratno
Kirim Komentar