Gudeg.net—Rajek Wetan dicanangkan sebagai desa wisata budaya pada tanggal 3 Mei 2019 lalu. Sematan ‘budaya’ bukan tanpa arti.
Tidak seperti desa wisata lainnya yang berkiblat pada pembangunan wahana di sekitar focal point desa, desa ini berteguh pada akar seni budaya yang kuat sebagai daya tarik.
“Antusiasme wisatawan memang tinggi (di desa yang memiliki wahana), tapi bukan tanpa masalah,” ungkap Wahjudi Djaja, fasilitator desa wisata budaya Rajek Wetan saat sadranan agung dilakukan.
Untuk membuat masyarakat mudah mengingat nama desa ini, akronim “Dewi Rawe” dipilih untuk menyebut desa yang masih sarat adat budaya ini. Sosok Dewi rawe pun diciptakan sebagai ikon dari desa ini.
Pengurus desa yang terletak di wilayah Tirtoadi, Sleman ini bertekad untuk mejadi desa wisata dengan tetap mempertahankan wajah desa dan cara hidupnya seasli mungkin.
Jadi, kita tidak akan menemukan wahana untuk outbond seperti flying fox dan sebagainya di sini. Saat kita berwisata ke sini, yang akan kita temukan adalah budaya Jawa, museum, pusat kebudayaan, dan ramah tamah penduduk yang amat sangat.
Menurut Wahjudi, ketika desa wisata dibangun dengan artifisial dan melupakan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan desa, maka akan terjadi kanibalisme desa wisata.
“Yang memiliki akses dan jaringan akan hidup, sedang yang berusaha mempertahankan kearifan desa yang ada dengan manajemen tradisional akan kesulitan,” jelasnya.
Memang tidak masuk akal jika kita berandai-andai seluruh lapisan masyarakat dalam suatu desa akan mendapat akses dan dapat seutuhnya memanfaatkan potensi wisata jika dilakukan melalui pembangunan wahana-wahana.
Sejak dijadikan desa wisata budaya pada 16 Februari 2019, desa ini tek henti-hentinya membangun potensi desanya. Potensi yang dimiliki memang cukup beragam.
Sebut saja alam, budaya, sejarah, seni, kerajinan, kuliner, bahkan flora dan fauna. Desa ini adalah penghasil rebung. Salah satu produk kuliner uniknya adalah bakpia rebung. Bakpia ini adalah salah satu komponen dalam empat gunungan saat kirab.
Fasilitator bersama Pokdarwis tidak ingin gegabah saat mendirikan desa wisata. Mereka menjalin kerja sama dengan Prodi Pariwisata SV UGM dan STIE Pariwisata API.
Melalui dua institusi pendidikan ini, mereka meneliti potensi yang dapat digali lebih jauh. Hasilnya, pendekatan pembangunan berdasarkan ASEAN Community Based Tourism dan Global Sustainable Tourism Standard.
Sebuah bukti penggarapan desa wisata yang serius, bukan sekadar ‘ikut-ikutan’. Ada beberapa titik yang diandalakan desa ini.
Titik yang dimaksud adalah Pusat Kebudayaan Sastro Sudarmo, Museum Budaya Agraris Rajek Wetan, Wanadesa, dan Pasar Papringan Dewi Rawe.
Kirim Komentar