Gudeg.net- Memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 Hijriah atau Satu Suro ( tahun Wawu 1953), ribuan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melakukan tradisi Mubeng Beteng, Minggu (1/9).
Tradisi Mubeng Beteng bagi masyarakat Yogyakarta dikenal juga dengan Ratri Lampah Budaya Tapa Bisu, dimana seluruh masyarakat tidak boleh berbicara sepatah katapun atau membisu ketika mengkuti ritual tersebut.
Dari pantauan GudegNet dilapangan, Ritual Mubeng Beteng Malam 1 Muharram yang dikenal juga dengan sebutan Malam Satu Suro ini dimulai pada pukul 20.00 WIB. Diawali dengan persiapan ritual dan pembacaan ayat suci Al Qur’an oleh para abdi dalem dan seluruh warga yang akan mengikuti ritual.
Tembang-tembang bernafaskan Islami dibawakan dengan senandung Jawa dengan sangat kental terdengar pada saat memasuki Bangsal Ponconiti (Keben) Keraton Yogyakarta, tempat awal dari prosesi Mubeng Beteng.
Tepat pada pukul 00.00 WIB lonceng Kyai Brajanala dibunyikan sebanyak 12 kali sebagai pertanda sudah akan memasuki prosesi Lampah Bisu Mubeng Beteng. Sejumlah bendera panji-panji keraton dan bendera Merah Putih pun telah siap untuk dibawa mengikuti ritual.
Ritual Mubeng Beteng dilepas oleh putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Mangkubumi didampingi putri dan mantu Dalem lain yakni GKR Condrokirono, GKR Maduretno, KPH Purbodiningrat, dan KPH Notonegoro.
Berdasarkan penanggalan Jawa, 1 Muharram atau Satu Sura tahun ini masuk kedalam tahun Wawu 1953. Ritual Lampah Tapa Bisu ini masyarakat akan berjalan mengelilingi Benteng yang mengelilingi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dengan rute diantarnya Regol Keben, Kamandungan Lor-Kauman-Ngabean-Pojok Beteng Lor Kulon-Pojok Beteng Kulon-Jl. MT Haryono-Pojok Beteng Wetan-Jl.Brigjen Katamso-Jl.Ibu Ruswo-Alun-alun Utara-Kamandungan Lor.
Urutan rombongan ritual Mubeng Beteng dipimpin oleh ratusan abdi dalem dengan menggunakan pakaian peranakan lengkap dan tanpa mengenakan alas kaki, dan dilanjutkan oleh ribuan masyarakat yang mengikuti dibelakangnya.
Suhardono warga Bantul mengatakan, dirinya dan keluarga selalu mengikuti tradisi Mubeng Beteng setiap tahunnya.
“Saya dan keluarga selalu menyempatkan diri untuk mengikuti ritual Topo Bisu karena bagi saya ritual ini sudah menjadi bagian dari kami sebagai warga Yogyakarta,” ujarnya saat ditemui seusai Topo Bisu pada pukul 02.00 WIB dini hari.
Mubeng Beteng Lampah Tapa Bisu ini diinisiasi oleh para abdi dalem Keraton Yogyakarta yang bertujuan sebagai introspeksi atas segala sesuatu yang telah terjadi pada perjalanan selama satu tahun kebelakang.
Dan selain itu juga sebagai cara bersyukur dan berserah diri kepada Tuhan atas kesejahteraan dan keberkahan yang diterima.
Tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng ini sendiri telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Nasional Tak Benda yang dimiliki Yogyakarta sejak tahun 2015.
Kirim Komentar