Gudeg.net—Jogja Literary Festival atau Festival Sastra Yogyakarta dibuka oleh sejumlah penampilan musik oleh penampil dari Yogya maupun luar Yogya.
Pembukaan ini dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung meriah. Musisi penampil malam itu ada Yogyakarta Symphony Orchestra (YSO), Gabriela Fernandez, Silampukau, dan Jogja Hiphop Foundation (Jazz Version).
YSO membawakan musik-musik instrumental dengan rapi dan mengundang decak kagum penonton. Mereka membawakan lagu-lagu populer, terutama lagu dari yang sedang populer (kembali), Didi Kempot.
Selain lagu-lagu dari ‘Lord of Broken Heart’ Didi Kempot (Suket Teki, Pamer Bojo), mereka menampilkan repertoar medley lagu nusantara yang dikemas dalam versi intrumental, sekaligus berkolaborasi dengan musik gamelan.
“Kami ingin ikut mengapresaisi sastra sekaligus kegiatannya. Ini acara yang apik dan berkesan bagi kami,” ungkap Dibyo, bassist grup YSO selepas acara berlangsung (27/9).
Gabriela Fernandez membawakan melodi-melodi manis dengan sentuhan folk dan irama yang riang. Ia membawakan lagu-lagunya seperti ‘Sepeda Tua’, ‘Rumah, Raga’, ‘Tawa’, ‘On A Sailboat Beneath the Sky’, dan ‘Aku, Kamu, dan Dua Cangkir Kopi’.
Grup yang paling ditunggu penonton adalah Silampukau asal Surabaya, dan Jogja Hip Hop Foundation (JHF) yang dilengkapi dengan saxophone dan support vocal.
Penonton sontak berdiri mengerumuni panggung saat kedua band ini tampil. Silampukau dengan lagu-lagu bernuansa vintage pop-nya membuat penonton turut bernyanyi bersama.
JHF membuat penonton bergoyang dan bernyanyi dengan hits lawas mereka. Membawakan sepuluh lagu, JHF yang berkolaborasi dengan Everyday band, membawakan lagu semacam ‘Jaman Edan’, ‘Sedulur’, ‘Ra Cucul’, dan ‘Jogja Isimewa’.
Berbincang-bincang di antara penampilannya, mereka mengungkapkan bahwa festival sastra sangat penting untuk situasi saat ini.
Penetrasi internet dan media sosial dalam kehidupan membutuhkan penyeimbang, yaitu literasi. Tanpanya, orang akan mudah terombang-ambing di tengah banjir informasi.
“Semoga festival ini berjalan setiap tahun. Kalau bagus lanjutkan, kalau jelek, ya, ditinggal. Namanya festival itu kudu diselenggarakan setiap tahun. Kalau lima tahun sekali, kuwi jenenge kenduren,” pungkas Kill The DJ.
Kirim Komentar