Gudeg.net- Keputusan pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka pada Januari mendatang menurut Epidemiologi UGM dapat dikatakan belum tepat.
Bayu Satria Wiratama, Epidemiolog UGM mengatakan, hal tersebut dikarenakan data Covid-19 di Indonesia secara umum saat ini masih cukup tinggi.
Namun ia menyebut bahwa pemerintah untuk dapat menakar kesiapan, hal ini perlu dilihat dari kondisi di setiap provinsi, kabupaten, atau kota.
“Karena ada daerah yang memang kasusnya dari awal sedikit dan tergolong bagus, mungkin di situ bisa dipertimbangkan,” ujar Bayu Satria Wiratama, pada keterangan pers yang diisampaikan oleh Humas UGM yang diterima Gudegnet, Rabu (2/12).
Dikutip dari keterangan pers UGM, Bayu mengungkapkan, keputusan pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka pada Januari mendatang dapat dikatakan belum tepat jika melihat data Covid-19 di Indonesia secara umum saat ini.
Namun ia menyebut bahwa untuk dapat menakar kesiapan hal ini perlu dilihat dari kondisi di setiap provinsi, kabupaten, atau kota.
Bayu menjelaskan, keputusan untuk memulai pembelajaran tatap muka perlu melibatkan sejumlah pihak, mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan juga pakar epidemiologi.
Tujuannya untuk membantu merumuskan langkah yang perlu diambil, mulai dari asesmen kesiapan hingga manipulasi infrastruktur. Karena pengambilan keputusan ini tidak cukup didasarkan pada zonasi risiko Covid-19.
“Zonasi kurang bagus akurasinya, perlu ditambah dengan parameter lain seperti positivity rate Covid-19 juga,” jelasnya.
Positivity rate sendiri, lanjutnya, diharapkan berada di bawah angka 5%. Namun indikator ini perlu dilihat dari masing-masing daerah, bukan indikator secara nasional.
“Dan ini salah satunya selain jumlah yang di-tracing, juga jumlah kasus aktif, jumlah kasus baru, ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, dan lainnya,” lanjutnya.
Bayu menambahkan, di samping protokol kesehatan (prokes) Covid-19 diperlukan juga sejumlah protokol tambahan kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Protokol tambahan diantaranya pengawasan harian kondisi murid, guru dan orang tua murid serta pengaturan jam kelas menjadi lebih pendek.
Selain itu yang penting juga adalah pengaturan posisi duduk di kelas dan ruang guru serta memastikan setiap kelas memiliki ventilasi yang baik.
Diperlukan juga asesmen yang lebih detil untuk jenjang SD dan pendidikan di bawahnya, karena lebih sulit untuk memastikan siswa tetap menerapkan prokes.
Karenanya menurut Bayu perlu upaya dari kesiapan guru dan edukasi ke anak-anak untuk persiapan mengikuti pembelajaran tatap muka, pengawasan hingga pengaturan jam belajar.
“Anak usia SD ke bawah yang paling susah untuk menggunakan masker. Jadi tingkat kesulitannya memang lebih tinggi dibandingkan dengan SMP dan SMA,” tuturnya.
Sedangkan untuk pembelajaran tatap muka di perguruan tinggi diperlukan koordinasi dengan Pemerintah, dalam pengawasan mahasiswa yang akan memasuki daerah tersebut.
Ia mengungkapkan, semua mahasiswa yang akan datang ke suatu daerah menurutnya wajib melakukan karantina mandiri selama 14 hari.
“Kemudian jika memastikan akan melakukan perkuliahan, perlu mempersiapkan kondisi ruang kuliah, pengawasan mahasiswa terkait dengan gejala, komunikasi dengan Dinas Kesehatan, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Kirim Komentar