Gudeg.net - Biennale Jogja XVI Equator #6 ditutup pada Sabtu (13/11) di Jogja National Museum (JNM). Dalam kesempatan tersebut Yayasan Biennale Yogyakarta meneruskan tradisi pemberian Lifetime Achievement Award (LAA), yang kali ini diberikan kepada seniman Nunung WS dan kurator Hermanu.
LAA diberikan untuk figur-figur yang dianggap berkontribusi penting dalam pembentukan wacana seni dan pengembangan ekosistem seni di Yogyakarta secara khusus, dan Indonesia secara umum.
Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika dalam sambutannya menyampaikan, pertimbangan dalam pemberian penghargaan tersebut adalah dedikasi, loyalitas, integritas dan kontribusi praktik kesenian setiap figur untuk pembentukan ekosistem di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
Ia mengatakan, Nunung Wahid Sahab merupakan seorang perupa abstrak perempuan Indonesia. Sampai di usianya yang ke-78 tahun, Nunung masih aktif berpameran, baik di dalam maupun luar negeri. Terakhir, ia menjadi bagian dalam pameran seniman perempuan di museum bergengsi Mori Art Museum di Tokyo, Jepang.
"Ia telah menunjukkan keteguhan dalam berkarya meskipun jauh dari spotlite dan ingar bingar ketokohan dalam seni rupa. Meski demikian ia masih terus menjalankan panggilan hidupnya sebagai seorang seniman," kata Alia.
Alia melanjutkan, Hermanu menggerakkan ekosistem di Indonesia mulai akhir 1980-an hingga kini dengan praktik kerjanya di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY).
"Kerja-kerja kuratorialnya bisa menunjuk pada semangat dekolonisasi praktik seni yang tidak selalu berpijak pada pengetahuan barat, tetapi mengembangkan wacana yang berbasis pada tradisi dan pengetahuan lokal," katanya.
BBY, lanjut Alia, menjadi ruang perkembangan penting bagi seniman-seniman Yogyakarta baik sebagai ruang pertemuan sosial maupun sebagai ruang diskusi untuk membicarakan visi dan gagasan estetika baru.
Biennale Jogja XVI #6 diselenggarakan 6 Oktober-14 November 2021 di empat lokasi: JNM, Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Museum dan Tanah Liat (MDTL) dan Indieart house. Untuk mengisi pameran, panitia membuat 99 program, meluas dari rencana semula yang berjumlah 70 program.
“Dalam 40 hari itu, kami berupaya maksimal agar penyelenggaraan program dapat menjadi media untuk transfer pengetahuan dan gagasan, baik dari sisi kuratorial maupun dari seniman yang melakukan aktivasi karyanya,” kata Direktur Biennale Jogja XVI Gintani Nur Apresia Swastika.
Gintani menyampaikan, selama 40 hari penyelenggaraannya, Biennale Jogja XVI telah dinikmati oleh kurang lebih 1,5 juta orang melalui media sosial, 236.210 orang melalui website, dan 14.590 orang melalui kunjungan langsung di empat lokasi. Kegiatan ini terpublikasi di 165 portal media daring, 25 media cetak, dan 15 media elektronik baik lokal, nasional dan intenasional.
Sebagaimana sepuluh tahun penyelenggaraannya, lanjut Gintani, pameran dua tahunan ini berfokus pada kawasan khatulistiwa dan mempertemukan Indonesia dengan negara-negara di garis khatulistiwa.
Bekerja sama dengan wilayah Oseania, tahun ini tim kurator membingkai pameran utama dengan judul Roots <> Routes, melibatkan 34 seniman dan kolektif yang diundang sebagai partisipan.
Selain pemberian penghargaan, penutupan juga diisi dengan peluncuran buku "Membabar Peta, Merupa Bumi" yang merupakan hasil Sinau Romo Mangun merespon ruang Romo Mangun pada pameran di JNM. Diluncurkan pula buku "Pasang Naik, Laut yang Sama" katalog Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
Beberapa pertunjukan digelar di penghujung acara, seperti paduan suara yang membawakan lagu “Nyanyian Sunyi” karya Mambesak dan disambung narasi karya "Dibungkam" Yanto Gombo dan karya Wok The Rock (Radio Isolasido) yang menarasikan "Sedikit mendengar, Banyak Mendengarkan".
Kirim Komentar