Gudeg.net – Setelah terakhir kali menggelar pameran pada bulan Desember 2019, Sanggar Dewata Indonesia (SDI) kembali menghelat pameran bersama di Sangkring art space. Mengangkat tajuk “Rethinking, Diaspora Kala Patra of SDI”, pameran dibuka pada Selasa (5/7) sore melibatkan 31 seniman SDI.
Sanggar Dewata Indonesia dibentuk pada 15 Desember 1970 oleh mahasiswa seni yang merantau di Yogyakarta diantaranya Made Wianta, Nyoman Gunarsa, Pande Gde Supada, Nyoman Arsana, dan Wayan Sika. Sanggar Dewata Indonesia didirikan atas kesadaran berkreativitas dalam kebersamaan dan keberagaman.
Dalam tulisan pengantar pameran salah satu anggota SDI yang juga pengajar pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta I Gede Arya Sucitra menjelaskan seniman SDI sejak awal telah menyadari akibat proses globalisasi, interaksi budaya (termasuk kesenian), baik antar bangsa maupun antar suku bangsa menjadi semakin intim sehingga perbedaan-perbedaan kesenian semakin kabur, akan tergusur oleh proses interaksi, adaptasi, adopsi, dan bahkan oleh perkawinan berbagai unsur seni budaya.
“Barong Miki” karya I Nyoman Darya dalam pameran “Rethinking, Diaspora Kala Patra of SDI” di Sangkring art space. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Hal ini bukan berarti merupakan keterputusan atas konteks kesadaran lokal, namun justru, sebagai kesadaran sikap menjaga dan melestarikan ‘memori-ingatan’ nilai-nilai tradisi, melalui proses reinterpretasi dan rekontekstualisasi. Wacana kebudayaan juga menghadapi persoalan besar tentang batas-batas waktu, yaitu apakah kebudayaan yang dikembangkan merupakan kontinuitas dari sebuah warisan masa lalu atau terputus darinya (discontinuity).” jelas Arya Sucitra kepada gudeg.net, Kamis (7/7) siang.
Sucitra menambahkan dinamika rethinking diaspora Bali mempertimbangkan keniscayaan terjadinya medan tafsir hingga rekontekstualisasi ‘the past & today’ tanpa merusak-leburkan atau terlepas seutuhnya benang merah konsepsi filsafat lokal Bali, namun mentransformasikannya ke dalam berbagai kemungkinan artistika.
Kalaupun terjadi beda tanggapan atas tafsir “merusak/mengganggu’ kemapanan citra visual tradisional seni rupa Bali, itu adalah persoalan cara pandang, respons keluas-sempitan cakrawala pemikiran.
Menurut pandangan ini, budaya berevolusi secara komulatif, menciptakan struktur baru dalam masyarakat sebagai akibat dari modifikasi dan pengayaan (inovasi) yang terus-menerus.
Pada titik inilah, daya lentur adaptasi dan jiwa survival orang Bali sebagai diaspora/perantauan, jika ditelisik ternyata disebabkan adanya konsep batin kosmologis, ada ikatan yang sangat erat antara interaksi orang Bali dengan kebudayaan Bali, terutama pada interaksi dengan alam (lingkungan) semesta.
Karya drawing series A. Agung Suryahadi (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dalam konsep kosmologis masyarakat Bali, dikenal dua pembagian alam lingkungan yakni alam sekala (nyata) maupun alam niskala (tidak nyata). Ruang lingkup sekala meliputi kehidupan sosial kemasyarakatan serta dunia fisik (alam sekitarnya).
“Diaspora Kala Patra SDI tidak sekedar entitas personal yang berkumpul-berserikat, berproses seni dan bergaul di seberang tanah Bali, tapi mereka meracik formula baru dengan bahan suci spirit warisan leluhur Bali, memperkaya benteng filosofis kultural Bali dengan ragam estetika cipta, rasa, karya sesuai dengan falsafah Desa Kala Patra.” imbuh Sucitra.
Secara umum, seni rupa Bali dilandasi oleh akar tradisi serta filosofi Agama Hindu-Bali yang masih kuat dipegang, di antaranya keyakinan pada Rwa Bhineda dan Tri Hita Karana. Rwa Bhineda adalah dualisme atau dua hal yang saling bertentangan namun bertujuan untuk keharmonisan dunia. Filosofi Rwa Bhineda menggambarkan alam semesta beserta isinya tersusun atau terbentuk dari dua hal yang saling berbeda atau bertentangan, namun saling melengkapi untuk keseimbangan dan siklus kehidupan.
Tabuh Rah (2 panel) - hot engraving di atas kulit kerbau - 170 x 190cm – I Wayan Agus Novianto – 2022 (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dalam rentang usia 51 tahun dan dinamika kreatif local genius seniman diaspora Bali di SDI, menunjukkan klasifikasi dan bentang estetiknya yang khas namun universal bahwa bagaimana transformasi praktik kesenian yang beradaptasi pada struktur-arena konsep trikona Bali yakni desa, kala, patra; melibatkan dialektika berbagai pengetahuan, pembacaan kritis, penilaian, ketajaman serta kesetiaan pada sebuah disiplin intelektual maupun praktik kesenian sehari-hari yang ketat.
Momentum estetika keberagaman visual seniman diaspora SDI bisa dilacak dalam ruang pameran dan sejumlah katalog SDI diantaranya: 32 Tahun Sanggar Dewata Indonesia (2003), Termogram: Mengukur Suhu Kreatif SDI (2004), Reinventing Bali (2008), SDI Now (2008), Vibrant Vision of Lempad (2012), Tribute to The Maestro I Nyoman Gunarsa (2017), Partitur (2017), Proud to be an Artist (2018), Samasta (2019).
“Terlepas dari sebutan yang sangat etnisitas tersebut, kontribusi utama dari visi pergerakan seni komunitas seni rupa SDI adalah membangun identitas multikultural seni yang berpijak pada kedalaman nilai-nilai lokalitas dalam relasi keberagaman estetika seni rupa kontemporer Indonesia.” pungkas Sucitra.
Pameran “Rethinking, Diaspora Kala Patra of SDI” di Sangkring art space. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran bersama bertajuk “Rethinking, Diaspora Kala Patra of SDI” berlangsung di Sangkring art space Jalan Nitiprayan No. 88 Ngestiharjo, Kasihan, Bantul hingga 5 September 2022 dengan penerapan protokol kesehatan.
Kirim Komentar