Gudeg.net – Sebanyak 127 catatan ringan yang ditulis seniman-perupa Jumaldi Alfi dalam buku terbarunya berjudul ‘Taman Rasa, The Melting Memories” diluncurkan di selasar Kiniko art room Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul pada Selasa (2/8) sore.
“Saya itu tipikal orang yang tidak bisa lepas dari diary (buku harian). Ada sekira 1000-an tulisan catatan ringan yang saya kumpulkan. Untuk yang (edisi) ini tidak dikelompokkan dalam kategori tertentu. Rencananya untuk buku berikutnya nanti dikelompokkan dalam beberapa kategori. Seni rupa atau kebudayaan secara luas misalnya.” jelas Alfi kepada Gudeg.net sesaat setelah peluncuran bukunya.
Peluncuran buku tersebut bersamaan dengan penutupan pameran tunggal Alfi di Kiniko art room dengan tajuk yang sama “Taman Rasa”. Sebanyak 10 lukisan dalam medium cat akrilik di atas linen yang terdiri dari 9 lukisan series ‘Taman Rasa’ dan satu lukisan berjudul ‘Surat Malam, a Letter to Night Swimmer’ dipajang di lantai 1, sementara 5 drawing series ‘Oleh-oleh dari Masa Lalu’ dalam medium cat akrilik dan spidol di atas kanvas dan linen didisplay di lantai dasar Kiniko art room.
Pengunjung sedang mengamati salah satu karya series ‘Taman Rasa’ karya Jumaldi Alfi (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Pameran Taman Rasa tidak ada kaitannya langsung dengan buku yang sedang diluncurkan, meskipun kata yang digunakan sama.” imbuh Alfi.
Ke-127 tersebut merupakan catatan harian yang dibuat Alfi dan diunggah pada akun facebook-nya sebagai bagian membangun ruang dialog dengan koleganya mulai dari sesama seniman, akademisi, budayawan, hingga masyarakat umum.
Buku Taman Rasa, The Melting Memories karya seniman-perupa Jumaldi Alfi. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Tentang ‘Taman Rasa, The Melting Memories” Alfi menjelaskan bahwa hal tersebut menjadi upaya memahami dirinya yang hidup dalam realitas adat-tradisi budaya yang beragam sejak kecil. Dalam tradisi-adat budaya Minang misalnya, Alfi justru lebih lama hidup di perantauan. Pemilihan diksi Taman Rasa seolah mewakili perasaan dalam dirinya yang dijalani dalam realitas kultur yang beragam.
“Hingga kelas 3 SD saya hidup di Jawa Barat mengikuti orang tua yang merantau di sana. Kemudian diajak orang tua pindah ke Lintau (Tanah Datar - Sumatera Barat) untuk belajar adat-tradisi langsung di kampung halaman itupun hanya sampai lulus SMP. Tahun 1989 sampai sekarang tinggal dan menetap di Yogyakarta. Diantara kawan-kawan dari Minang saya kerap dibilang Minang KW, tapi di Yogyakarta sendiri saya tetaplah dianggap perantauan Minang dengan pembawaan yang keras. Tapi untunglah itu semua dipersatukan dengan yang namanya Indonesia.” pungkas Alfi.
Kirim Komentar