Seni & Budaya

Belajar Melihat, Mendengar, dan Merasakan dalam “Perahu Kertas. The Learning series”

Oleh : Mohammad Jauhar Al Hakimi / Jumat, 12 Agustus 2022 15:09
Belajar Melihat, Mendengar, dan Merasakan dalam “Perahu Kertas. The Learning series”
‘Hilangnya Mitos. (Perahu kertas series)’ karya Meuz Prast pada pameran Miracle at Jogja Gallery, Juni 2022. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

Gudeg.net – “Kegagapan mengaplikasikan media sosial dan kurang bijak dalam bersosial media menjadikan manusia hari ini semua ingin mendapat panggung, ingin diakui, ingin dilihat, ingin didengar dengan cara yang tak bijak sehingga menciptakan manusia-manusia yang mengidap penyakit nomophone phobia, social climber, dan penyakit lainnya.”

Kalimat tersebut disampaikan seniman-perupa Barthimeus Yayan Prasetyo atau biasa dipanggil Meuz Prast kepada Gudeg.net,  Senin (1/8) siang tentang karya lukisannya berjudul ‘Just Hear’ dalam medium cat akrilik di atas kanvas berukuran 90 cm x 70 cm.

Just Hear - cat akrilik di atas kanvas - 90 cm x 70 cm – Meuz Prast – 2021. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

Karya tersebut menjadi kritik Meuz atas belum optimalnya proses pendidikan di Indonesia dengan minimnya penerapan pendidikan budi pekerti pada saat bersamaan masyarakat belum siap dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan didorong oleh kemajuan tehknologi.

September 2017 Meuz menggelar pameran tunggal bertajuk “Face Project” di Limas art house. Dunia maya dengan media sosialnya dalam beberapa tahun terakhir menjadi panggung kontestasi mulai dari sekedar memperkenalkan diri secara fisik, aktivitas, hingga pencapaian-pencapaian fisik sebagai bagian eksistensi diri.

Dunia maya yang tidak pernah tidur mendorong perlombaan untuk menjadi lebih cantik, lebih indah, dan lebih-lebih lainnya yang tidak jarang harus membungkusnya dalam beragam artifisial dalam dirinya.

Dalam pameran “Face Prohect” pembacaan Meuz ketika itu menyoal fenomena yang kerap terjadi di media sosial dan dunia maya. Dalam upaya berlomba menjadi cantik/keren di dunia maya dan media sosial, masyarakat bawah kerap menjadi korban.

Budayawan Achmad Charris Zubair saat berkunjung dan bincang santai di Studio Kutunggu di Pojok Ngasem, UWM, Jumat (5/12) sore. (Foto : official doc. Humas UWM)

Bagi masyarakat menengah-atas yang memiliki kelebihan kekayaan, mempercantik diri bisa dilakukan kapan saja meskipun harus berbayar mahal. Bagaimana dengan masyarakat bawah? Jalan pintas mempercantik diri dengan berbagai kosmetik murah ataupun cara-cara murah lainya tidak jarang justru bisa merusak wajahnya bahkan membahayakan dirinya.

Aktivitas mempercantik diri secara artifisial baik secara temporal maupun permanen seolah menjadi bagian fenomena hoax yang kerap mewarnai dunia maya dan media sosial.

"Kecanduan mempercantik diri terus menerus adalah upaya merusak tubuh itu sendiri." kata Meuz, Selasa (10/10/2017) siang.

Tiga tahun lalu Agustus 2019 Meuz kembali menggelar pameran tunggal bertajuk “Matamata” di Miracle print art shop. Dalam hal mata sebagai indera untuk aktivitas melihat/memandang peneliti ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies) Univ. Gadjah Mada Yogyakarta Ida Fitri dalam tulisan pengantar pameran “Matamata” menyebutkan bagi masyarakat urban, disadari atau tidak, hal ini merupakan fenomena keseharian hidup di dua dunia, yang nyata dan yang maya. Dalam kehidupan nyata, orang Jawa mengenal sawang sinawang atau memandang orang lain secara sekilas atau sebatas permukaan.

Addicted Cosmetic series - cat akrilik di atas kanvas – Meuz Prast – 2017. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

Di media sosial yang maya, kita melakukan stalking atau memata-matai orang lain, dan sebaliknya kita pun sesungguhnya sedang diamati oleh orang lain. Sistem pengamatan atau pengawasan tak setara atau sepihak yang dikenalkan oleh Foucault sebagai panopticon kini berwujud CCTV yang tersebar di mana-mana tanpa kelihatan keberadaannya merekam semua aktivitas manusia dalam jangkauan radius tertentu.

Ida Fitri menambahkan sejak hidup di dua dunia, nyata dan maya di era industri 4.0, manusia memiliki tabiat baru dalam kehidupan sosialnya. Satu diantaranya adalah aktivitas meratap di media sosial.

Saat ini bersama karya lukisan Meuz lainnya berjudul ‘Learning #2’, lukisan ‘Just Hear’ sedang dipresentasikan di dinding Studio Kutunggu di Pojok Ngasem Universitas Widya Mataram.

Pada karya berjudul ‘Learning #2’ objek perahu kertas yang rapuh menjadi pembacaan Meuz pada kehidupan manusia dalam mengarungi samudera kehidupan, penuh dengan liku-liku permasalahan hidup yang juka salah mengemudi bisa saja sobek, basah, kemudian tenggelam. Manusia adalah makhluk yang adaptif terhadap perubahan lingkungannya tergantung seberapa besar dia mau terus belajar mendengar, melihat, dan memahami dengan keseluruhan indera yang dimiliki serta perasaan melalui hatinya.

Learning #2 - cat akrilik di atas kanvas - 130 cm x 85 cm – Meuz Prast – 2021. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

Pameran tunggal satu karya Meuz Prast berjudul ‘Perahu Kertas. The Learning series’ berlangsung 8-17 Agustus 2022 di studio podcast Kutunggu di Pojok Ngasem dan bisa dikunjungi secara langsung terbatas dengan terlebih dahulu melakukan reservasi pada Biro 3 UWM.


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    JOGJAFAMILY 100,2 FM

    JOGJAFAMILY 100,2 FM

    JogjaFamily 100,9 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    GERONIMO 106,1 FM

    GERONIMO 106,1 FM

    Geronimo 106,1 FM


    UNISI 104,5 FM

    UNISI 104,5 FM

    Unisi 104,5 FM


    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RetjoBuntung 99.4 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini