Gudeg.net – “Mengapa di Yogyakarta selalu banyak pameran? Pertanyaan ini sering disampaikan oleh banyak teman yang ingin menetap di Yogyakarta. Jawabannya sederhana, di Yogyakarta banyak orang –terutama teman-teman seniman- yang dengan sukarela untuk tinggal di Yogyakarta. (Dan beruntungnya) Yogyakarta sangat terbuka untuk siapa saja. Kemandirian banyak teman seniman, komunitas, kolektif, yang luar biasa inilah bisa menjawab pertanyaan tersebut.”
Kalimat tersebut disampaikan pengajar Institut Teknologi Telkom Purwokerto Arsita ‘Dito’ Pinandita saat memberikan sambutan pengantar pameran “Laras Pratitis” di Kedai Srawung Saklawase. Pameran yang melibatkan 89 seniman-perupa tersebut dibuka oleh vokalis Death Vomit Sofyan Hadi, Jumat (7/7) sore.
Selamat Tinggal Kenangan – cat akrilik di atas kanvas - Ø 122 cm – Agung Hanafi Purboaji – 2023. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dito menambahkan dengan proses kreatif yang terus berlangsung Yogyakarta menjadi tempat dilahirkannya seniman-seniman yang terus berkreasi. Banyak orang ingin menjadi seniman, tetapi tidak semua mudah menjadi seniman. Bahwa Yogyakarta itu bukan tempat belajar menjadi seniman, karena seniman itu memang dilahirkan.
Dengan kondisi tersebut tidak mengherankan setiap saat lahir karya-karya seni di berbagai wilayah Yogyakarta.
Dalam catatan pengantar pameran Dito menuliskan laras dalam Bahasa Jawa mempunyai makna ‘untuk dihayati’. Sedangkan pratitis (Bahasa Jawa) mempunyai makna ‘ketepatan’. Menghayati konektivitas emosional dalam diri seniman adalah bagian penting dari ketepatan dalam merefleksikan daya hidup. Artinya kita sebagai insan manusia dapat menemukan penghayatan hidup melalui ketepatan mengapresiasi seni.
Pengunjung mengamati karya di pameran “Laras Pratitis”. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dalam tema tersebut ke-89 diberikan kebebasan mempresentasikan karya dalam berbagai medium.
“Dimensi karya yang kita batasi mengingat kapasitas ruang/dinding pamer yang relatif terbatas. Memanfaatkan dinding/gebyog kedai, karya dua matra berukuran kecil dipajang di situ, sementara untuk karya berukuran sedang dan karya tiga matra kita tempatkan pada aula.” jelas penanggung jawab pameran Jon Paul Irwan kepada Gudeg,net. Jumat (7/7) sore.
Pada gebyog berukuran 2,5 m x 13 m Kedai Srawung Saklawase ditempatkan karya berukuran tidak lebih dari 50 cm x 50 cm, sementara di aula yang sesungguhnya tempat parkir roda dua yang disulap menjadi ruang pamer berukuran berukuran 8x10 m2 lukisan dalam ukuran yang relatif besar dan karya patung/tiga matra ditempatkan.
Pameran seni “Laras Pratitis” di Kedai Srawung Saklawase. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Tema kekaryaan cukup beragam mulai dari pembacaan realitas sosial, metafora, hingga kritik sosial dalam berbagai medium dan teknik.
Dalam karya berjudul ‘Print Poet series #1’ Syahrizal Pahlevi membuat potongan-potongan kata dalam puisi Chairil Anwar yang dicetak dengan teknik cukil kayu di atas alluminium bekas cetak offset.
Pada kanvas berdiameter 122 cm Agung ‘Pekik’ Hanafi Purboaji membuat karya dalam citraan cermin cembung rambu-rambu lalulintas (convex mirror) berjudul ‘Selamat Tinggal Kenangan’. Sejak lima tahun terakhir Agung Pekik -yang dikenal sebagai pegrafis full colour karena banyaknya warna dalam karya grafisnya- kerap membuat karya lukisan dalam citraan convex mirror membaca realitas perubahan rupa Kota Yogyakarta yang terus berbenah dalam pembangunan fisik dan tidak jarang mengubah bentuk fisik tata kota diikuti hilangnya ingatan dan kenangan kolektif masyarakat.
Pameran seni “Laras Pratitis” di Kedai Srawung Saklawase. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pada awal Pandemi COVID-19 Agung mempresentasikan sebuah karya lukisan convex mirror berjudul “0 Km Yogyakarta in the convex mirror of the COVID-19 Pandemic” dalam medium cat akrilik di atas kanvas berdiameter Ø 150 cm.
“Saat itu saya mencoba menampilkan suasana di titik 0 km Kota Jogja yang tidak pernah sepi dengan segala hiruk-pikuknya aktivitas masyarakat, namun di awal pandemi COVID'19 tersebut saya menemukan suasana yang benar-benar sepi saat itu di situ. Saya mencoba memotret dimana tempat-tempat yang biasa ramai dengan kesibukan tiba-tiba dipaksa dan harus dikosongkan.” jelas Agung Pekik.
Dream – resin - 44cm x 48cm x 47cm – Komroden Haro – 2010. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pada kanvas dua panel berukuran 100 cm x 44 cm pegrafis Irwanto Lentho membuat karya dalam gabungan berbagai teknik berjudul ‘Between My Money and Between My Money and Money History.’ Dalam citraan uang pecahan kertas Rp. 30.000,00, Lentho mencoba mengingatkan tentang kesenian tradisi yang pelan-pelan ditelan jaman akibat tidak begitu intensifnya pembinaan dan pemanfaatan seni tradisi dalam kehidupan di masyarakat, perubahan jaman, serta berbagai faktor lainnya, pada saat yang sama kesenian Reog Ponorogo yang menjadi subjek karya Lentho pada beberapa tahun terakhir bahkan sempat diklaim sebagai kesenian asli Malaysia.
Kritik sosial disampaikan perupa Miko Malioboro dalam karya berjudul ‘Dikandhani Ngeyel, Diapusi Percoyo’. Realitas dunia maya dan nyata hari ini masih banyak dan senang yang mengonsumi kabar bohong (hoax) dibanding ajakan berpikir kritis membaca keadaan sesungguhnya.
Saksi (Fitri DK/kiri), Print-poet series #1 (Syahrizal Pahlevi/kanan). (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
‘Laras Pratitis’ secara keseluruhan dimaknai ke-89 seniman yang berpameran dalam bingkai yang lebih luas yakni ruang perjumpaan untuk memperbincangkan apapun.
Dalam sebuah survei yang dilakukan Dinas Kebudayaan Pemda DIY melalui UPT Taman Budaya Yogyakarta sekira sepuluh tahunan lalu diperoleh data sekitar 5.000 seniman-perupa yang tinggal dan berproses di wilayah Yogyakarta. Pada saat bersamaan Gelaran Budaya dengan salah satu motornya pengajar Seni Rupa ISI Yogyakarta Rain Rosidi berhasil mengumpulkan data 6.500-an seniman-perupa yang masih hidup, masih berkarya, serta tinggal di Yogyakarta, lengkap dengan alamat rumah dan nomor kontak yang bisa dihubungi. Catatan temuan yang dilakukan Gelaran Budaya tersebut dimuat dalam buku Almanak Seni Rupa Indonesia
Angka-angka tersebut tentu potensi besar yang mampu menggerakkan kesenirupaan di Yogyakarta berikut aspek-aspek perekonomian, sosial, politik, budaya yang menyertainya. Dan dengan pola persebaran di berbagai wilayah Yogyakarta, tanpa harus ada klaim hari raya seni rupa dan seterusnya, sesungguhnya setiap hari di Yogyakarta adalah perayaan seni rupa yang bisa dilakukan dimanapun tanpa harus terikat pada ruang-ruang seni ataupun event acara tertentu. Pekerjaan berat berikutnya diantaranya adalah bagaimana membuat seni (rupa) itu tidak berjarak dengan masyarakat.
Pengunjung anak mengamati dan mendokumentasikan karya pada pameran “Laras Pratitis”. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pada titik ini ‘Laras Pratitis’ menemukan relevansinya sebagaimana catatan Arsita Pinandita bahwa Kebudayaan Yogyakarta melahirkan ribuan seniman yang terus menerus mengeksplorasi daya hidup. Setiap seniman di kota ini merefleksikan keberagaman melalui serangkaian pemaknaan. Setiap seniman memperluas makna, memahami hayat hidup yang terkandung di sekitarnya. Dan yang terpenting menjadi seniman bukanlah dibentuk secara instan namun benar-benar dilahirkan. Bila dibayangkan bahwa Yogyakarta adalah seorang ibu, maka melalui pameran ini telah membuktikan bahwa Yogyakarta telah mengandung dan melahirkan beragam seniman yang tepat menghayati hidup.
Pameran seni “Laras Pratitis” dihelat di Kedai Srawung Saklawase Sonopakis Lor, Ngestiharjo, Kasihan-Bantul hingga 21 Juli 2023.
Pengunjung anak mengamati karya Between My Money and Between My Money and Money History (Irwanto Lentho/kiri). (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Display karya memanfaatkan gebyog kedai berukuran 2,5 m x 13 m. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
.
Kirim Komentar