Gudeg.net – Sebuah pesan singkat Whatsapp masuk “... maaf lama tidak berkabar, Kemarin terlibat program mukim Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Harus wira-wiri Samigaluh-Siluk-Rancakalong. Silakan datang ke Sekolah Sungai Siluk. Ada pembukaan Pameran Sewu Lukisan Anak (PSLA) #5, Sabtu (28/10). Saya mau berbagi cerita.”
Pesan tersebut datang dari inisiator Sekolah Sungai Siluk (SSS) Kuat, Kamis (26/10). Dalam kondisi cuaca yang tidak terlalu bersahabat akibat kemarau panjang, Sabtu (28/10) menjelang sore Gudeg.net berkunjung ke SSS.
Pameran Sewu Lukisan Anak (PSLA) #5, di Sekolah Sungai Siluk Selopamioro-Bantul. (Foto : official doc. SSS)
PSLA #5 sendiri sudah dibuka pagi hari oleh produser-sutradara Ifa Isfansyah. Pameran menampilkan sebanyak 1.086 karya gambar-lukisan anak-anak siswa SSS dan anak-anak dari berbagai tempat di Yogyakarta.
“Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pameran kali ini kami sengaja membuka open call bagi anak anak di luar anak didik kami yang akhirnya kami menyaring 48 anak yang lolos seleksi. Agar mereka bisa saling kenal.” kata Kuat saat ditemui Gudeg.net, Sabtu (28/10) sore.
Hingga saat ini pembelajaran bagi anak-anak di SSS diselenggarakan secara gratis. Terdapat kelas tari, kelas seni rupa, dan mendongeng-teater. Selain kelas seni di SSS disediakan taman bacaan bagi anak-anak hingga dewasa.
“Anak-anak cukup membawa 3 botol bekas minuman setiap kali hadir belajar sebagai donasi lingkungan. Sebenarnya itu merupakan edukasi bagi mereka untuk memilah sampah semenjak dini. Harapannya, di tempat lain (rumah, sekolah) sampah plastik tersebut bisa didaur ulang dan tidak menambah timbunan sampah yang sudah ada. Sejauh ini sudah berjalan baik dan itu ditularkan pada teman-temannya.” kata Kuat.
Pementasan seni tradisi Tarawangsa oleh pelajar dan masyarakat Rancakalong-Sumedang pada PKN 2023 di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta. (Foto : dok. pribadi Kuat)
Sementara program pengelolaan sampah dari warga yang pernah dilakukan oleh SSS, saat ini secara mandiri sudah berjalan di masyarakat.
“Program penjemputan dan pemilahan sampah plastik-logam yang selama ini ditangani SSS bersama karang taruna Selopamioro sudah berjalan mandiri oleh warga. Setelah warga tahu bahwa sampah anorganik tersebut ternyata jika dikelola dengan benar masih memiliki nilai ekonomi, akhirnya oleh SSS diserahkan sepenuhnya pengelolaannya secara mandiri kepada warga. Ini tentu meringankan kerja teman-teman di SSS. Artinya kami bisa lebih fokus pada edukasi untuk anak-anak sekitar Selopamioro.” imbuh Kuat.
Presentasi karya 3 seni tradisi Rancakalong-Sumedang dalam PKN 2023 di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta. (Foto : dok. pribadi Kuat)
Penyadapan Seni, retasan saling silang-lintas budaya
“Sejak diumumkan bahwa pandemi telah menjadi endemi, SSS sudah mulai beraktivitas seperti semula. Namun ada adaptasi lagi. Kebiasaan membaca di perpustakaan yang mereka lakukan banyak berubah saat pandemi mengharuskan anak-anak belajar di rumah secara daring. Dampaknya mereka menjadi tergantung dan kecanduan pada gawai pintar. Pelan-pelan kami mengenalkan kembali pada dunia-kehidupan nyata. Perlu waktu, namun sekarang sudah mulai kembali beraktivitas di SSS minimal pada hari Minggu.” jelas Kuat.
Sejak bulan Mei relawan dan guru seni sudah mulai mendampingi anak-anak SSS, namun pada saat bersamaan Kuat harus mempersiapkan diri untuk terlibat pada Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023.
Presentasi karya 3 seni tradisi Rancakalong-Sumedang dalam PKN 2023 di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta. (Foto : dok. pribadi Kuat)
“Bulan Agustus kemarin ada workshop tentang Seni Pedagogi di Samigaluh, Kulon Progo melibatkan 5 seniman dari Yogyakarta dan 5 guru berasal dari Aceh, Subang , Sumedang , Bali dan Jayapura. Selama seminggu melakukan observasi bersama untuk mengeksplorasi hal-hal baru di sana. Kebetulan saya mendampingi Dewi Yulianti guru asal Sumedang.” kata Kuat.
Dari observasi di Samigaluh, Kuat bersama Dewi Yulianti merancang karya yang akan dipresentasikan dalam PKN 2023. Untuk keperluan tersebut mereka intensif melakukan komunikasi secara daring dilanjutkan dengan program mukim (residensi) ke Rancakalong, Sumedang pada bulan September.
“Projek berlanjut dalam tema Penyadapan Seni Tradisi Rancakalong. Selama program mukim di Rancakalong, ada tiga seni tradisi yang coba kami angkat kembali. Seni Tutunggulan, Rengkong, dan Tarawangsa.” kata Kuat.
Alur projek penyadapan seni tradisi kolaborasi Kuat dan Dewi Yulianti. (Foto : dok. pribadi Kuat)
Dalam projek tersebut Kuat dan Dewi menyusun workshop dengan melibatkan pelajar dan masyarakat Rancakalong untuk kemudian dibuat menjadi karya multimedia. Karya yang akan dipresentasikan dalam PKN 2023 tersebut meliputi karya proses dan karya akhir. Dengan begitu publik mendapatkan gambaran utuh sekaligus bisa diseminasikan di tempat lain.
Rengkong adalah sebuah hiburan para petani di masa lalu saat panen padi dengan memanfaatkan padi yang masih menempel pada jerami hasil panen dan akan disimpan di lumbung (leuit), bambu besar untuk memikul padi, injuk, dogdog, umbul-umbul, dan bendera.
Istilah rengkong merujuk pada nama alat yang dahulu digunakan untuk memanggul padi hasil panen. Rengkong terbuat dari bambu jenis gombong yang saat itu banyak ditemukan di Jawa Barat.
Pelajar Rancakalong-Sumedang berlatih seni tradisi Tutunggulan. (Foto : dok. pribadi Kuat)
Potongan bambu sepanjang 2 meter tersebut dikaitkan dengan tali injuk yang sudah diikatkan setandan padi. Bambu akan menghasilkan suara yang unik hasil dari pergesekan tali injuk dengan bambu. Suara tersebut akan terdengar menarik dan meriah jika rengkong yang dimainkan lebih dari satu.
Pemain rengkong biasanya adalah laki-laki dewasa, mereka berjumlah 5-6 orang dengan mengenakan pakaian adat tradisional Kasepuhan Sunda yang dikenal dengan baju kampret. Dilengkapi celana pangsi hitam dan pada bagian kepala dihiasi dengan iket atau totopong, yaitu tutup kepala tradisional Sunda.
Workshop Tutunggulan dengan melibatkan warga dan pelajar Rancakalong. (Foto : dok. pribadi Kuat)
Tutunggulan berasal dari kata mutu (tumbuk) yaitu proses membuat beras dari padi dengan menggunakan alu dan lesung. Tutunggulan muncul dari kebiasan masyarakat dalam menumbuk padi untuk memisahkan bulir padi dari kulit sekamnya. Tutunggulan juga digunakan sebagai alat komunikasi atau untuk mengundang orang pada suatu acara seperti pernikahan, khitanan ataupun syukuran dengan menggunakan lesung dan alu.
“Dalam tradisi masyarakat agraris ada kemiripan tradisi-budaya. Adanya lumbung untuk menyimpan hasil panen padi, bambu sebagai alat untuk memikul hasil pertanian. Jika di Jawa Barat dikenal dengan Tutunggulan, masyarakat Bantul mengenal kesenian ini sebagai gejog lesung. Kebiasaan nutu (memisahkan bulir padi dari sekam) sudah digantikan dengan mesin penggilingan padi. Meski begitu kesenian tradisi gejog lesong masih ada dan menjadi salah satu ciri khas seni tradisi Kabupaten Bantul.” jelas Kuat.
Sementara Tarawangsa merupakan tari pergaulan di daerah Sumedang, dimana sejarah terciptanya saat musim paceklik melanda dan warga Rancakalong ketoka mengamen di Mataram untuk mendapatkan bibit padi.
Pengambilan video seni tradisi Rengkong di Rancakalong, Sumedang – Jawa Barat untuk materi karya multimedia PKN 2023, September 2023. (Foto : dok. pribadi Kuat)
Sebagai tari pergaulan, gerakan Tarawangsa cenderung bebas, namun untuk upacara adat tertentu disesuaikan dengan ritual yang ada. Saat menampilkan Tarawangsa diiringi dengan instrumen gesek tradisional sejenis rebab.
Dilhat dari segi fungsinya, seni Tarawangsa selalu dipertunjukan dalam siklus penanaman padi, dimana dalam masyarakat agraris tradisional selalu diidentikan dengan sosok Nyai Sri Pohaci/Nyi Pohaci Sanghyang Dangdayang Asri, Dewi Asri (Dewi Sri) sebagai dewi padi dalam budaya masyarakat Sunda.
Program mukim (residensi) seniman pada projek Penyadapan Seni Tradisi menjadi jembatan komunikasi antarbbudaya sekaligus saling-silang budaya (cross culture) bagi tumbuhnya budaya-budaya di masa datang dalam dialog berbagai arah dari anak bangsa serumpun.
Swafoto Kuat (baju batik) saat mendokumentasikan workshop seni Tutunggulan. (Foto : dok. pribadi Kuat)
Hasil karya elaborasi-kolaborasi pada projek tersebut dipamerkan dalam bentuk karya multimedia pada puncak PKN 2023 disertai dengan pementasan karya menggabungkan ketiga seni tradisi tersebut yang dirangkai dalam sebuah koreografi dalam durasi 20 menit.
“Karya kolaborasi kami dipresentasikan pada PKN 2023 di Museum Kebangkitan Nasional dari tangggal 20 – 29 Oktober 2023. Kami menampilkan dengan simbol-simbol alat pertanian dari hasil bumi padi yang berhubungan erat dengan kesenian yang ada di Rancakalong, Sumedang.” pungkas Kuat.
Kirim Komentar