
Dalam pameran kompetisi seni visual yang diikuti oleh 67 seniman ini tercipta beragam konsep dan jenis media karya yakni lukis, patung, grafis, fotografi, keramik, seni instalasi, boneka, seni multimedia, dan tekstil.
Lukisan "The Story of Broken Text" Karya seniman Dedy Sufriadi akhirnya menjadi karya terbaik pertama dalam kompetisi ini setelah diseleksi oleh kurator Mikke Susanto dan Sri Margana.
"The Story of Broken Text", oleh Dedy Sufriyadi merefleksikan makna Sumpah Pemuda yang kini hanya menjadi rangkaian kalimat yang telah kehilangan maknanya. Separatisme mematahkan semangat satu nusa, kepentingan bangsa tumpang-tindih dengan kepentingan pribadi, dan kekuasaan menjungkir-balikkan makna bahasa.
I Made Supena dengan karya "Melayang Menunduk", Jaya Adi dengan "Operasi Semar", Wilman Hermana dengan "Flag of Our Father", dan Y. Indra Wahyu dengan "Asasi Per@ Mudah Pecah" masing-masing menjadi ke-4 terbaik lainnnya dalam kompetisi ini.
Pameran yang akan berlangsung hingga 12 Juni ini juga menampilkan sebuah karya dari seniman dari Jepang, Midori Hirota yang menampilkan video dokumentasi sebagai upaya rekonsiliasi antara warga Indonesia yang dahulu pernah menjadi korban perang Jepang. Sebagai seorang seniman, Midori mempaerlakukan dirinya sebagai mediator dalam hal tersebut.
"Satu karya dari seniman Jepang, Midori, membuat saya tersentuh ketika melihatnya. Bagaimana tidak, seorang berkewarganegaraan Jepang mampu menjadi mediator rekonsiliasi bagi warga negara Indonesia yang dulu pernah melawan penjajah," kata Presiden Direktur Jogja Gallery, Sugiharto Soeleman saat membuka pameran (20/05).
Sementara itu, salah satu kurator pameran, Sri Margana menyebutkan bahwa pameran ini merupakan refleksi seni kontemporer yang saat ini. "Pameran ini merupakan refleksi kontemporer saat ini," katanya.
Kirim Komentar