![Yayasan Umar Kayam Yayasan Umar Kayam](/images/upload/logo_kanan.jpg)
Hal tersebutlah yang mendorong Ayu Utami untuk menulis novelnya, yang walaupun sifatnya fiktif, namun apa yang ada di dalamnya sesungguhnya memang terjadi di dalam kehidupan nyata, namun cara pengungkapannya dibuat sedemikian rupa agar dapat lolos dari sensor penguasa.
Namun demikian, pada era pasca-orde baru, penulis novel Saman ini kembali merindukan cerita-cerita yang linear, mudah dicerna, dan optimistik, yang relatif berbeda dengan cerita-cerita yang lahir pada masa orde baru.
Hal tersebut diungkapkannya pada diskusi yang berjudul Sastra Indonesia Pasca-Orde Baru, yang digagas oleh Yayasan Umar Kayam (YUK), KPG, Jurusan Komunikasi Fisipol UAJY, serta Komunitas Tandabaca, Rabu lalu (27/08) di Yayasan Umar Kayam, yang beralamat di Perum Sawit Sari I-3, Condong Catur Yogyakarta.
Pada bagian lain, Aris Mundayat yang juga menjadi pembicara dalam acara ini membandingkan bagaimana pada masa orde baru muncul karya-karya sastra yang bernegosiasi dengan kekuasaan, dan berhadapan dengan sensor-sensor.
Sementara ketika masa pasca-orde baru, bisa dikatakan hampir tidak ada lagi karya-karya sastra perlawanan dan sifatnya lebih bebas, demikian papar Direktur Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada (PSSAT-UGM) ini, menelaah konteks sosial munculnya karya sastra.
Diskusi yang dimulai agak terlambat beberapa menit dari waktu yang dijadwalkan semula, yaitu 18:30 WIB, dan dihadiri oleh puluhan orang yang memenuhi halaman Yayasan Umar Kayam malam itu, rencananya akan diadakan setiap bulan sekali sebagai sebuah kegiatan rutin Yayasan Umar Kayam.
Kirim Komentar