Alunan gamelan dan suara manja sinden mengumandang di halaman Taman Budaya Yogyakarta Senin (3/11). Perpaduan harmoni musik Jawa itu menyatu dalam derasnya hujan yang seharian tak mau berhenti. Menelisik lebih dalam lagi, terdengar suara gagah seorang anak lelaki yang membawakan sebuah lakon wayang. Entah karena hawa yang dingin karena derasnya hujan atau ingin melihat tubuh kecil si dalang, semua penonton merapatkan diri ke arah panggung.
Tak seperti pertunjukkan wayang biasanya yang selalu menampilkan dalang dari kalangan kaum sepuh, pertunjukkan kali ini digawangi oleh seorang anak laki-laki yang baru berusia 11 tahun. Rahmat Basuki, siswa kelas 6 Sekolah Dasar Sembungan, Kasihan Bantul menghibur pengunjung Taman Budaya dengan pertunjukkan wayang lewat lakon Aji Norontoko. Pada Festival Seni Anak 2008 itu, si bungsu yang kebetulan merupakan anak dari seorang pemain kethoprak ini bekesempatan membawakan lakon Aji Norontoko yang berdurasi selama 2 jam.
Dua tahun sudah Basuki menggeluti dunia pedalangan. Sejak usia 3-4 tahun, Basuki lebih senang menonton acara wayang di salah satu stasiun televisi swasta. "Aku juga senang nonton film kartun, tapi lebih senang nonton wayang kulit di TV," jelasnya polos. Melihat kebiasaan anaknya, Tomi Jumrowi ayah dari Basuki langsung mendaftarkan Basuki ke Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Bantul. "Saya sebagai orang tuanya ya harus mendukung. Jangan sampai keinginan anak itu tidak tersalurkan," jelas Tomi.
Basuki sudah menggelar empat pertunjukkan wayang. Mulai dari hanya mengisi acara 17 Agustus di kampung sampai Bantul Expo yang merupakan acara terbesar yang pernah Basuki ikuti. Dukungan Bapak Ibu guru di sekolah menambah semangat Basuki untuk terjun ke dunia pedalangan. Bahkan dalam acara Pagelaran Dalang Anak di Taman Budaya Yogyakarta kemarin sore, melibatkan teman-teman sekolah Basuki sebagai kelompok karawitan yang mengiringi Lakon yang dibawakan oleh Basuki.
Ayahnya yang tergabung dalam kelompok kethoprak Kecamatan Kasihan, mengalirkan darah seni kepada Basuki. Di sela-sela profesinya sebagai penggali makam di pemakaman Cina Gunung Sempu, Tomi selalu mengajak Basuki untuk berlatih Langen Mondro Wanoro (opera Jawa -red) di tempat Juwaraya pimpinan dari Langen Mondro Budoyo. Tetapi mendalang tetap menjadi pilihan utama Basuki. "Aku nggak punya cita-cita lain selain ingin jadi dalang," ujar Basuki malu-malu.
Kecintaan anak-anak kepada wayang kulit memang cukup besar. "Anak-anak yang sudah mendaftarkan dirinya ke PEPADI Bantul itu sudah banyak. Saya lupa tepatnya. Tapi antusias mereka sangat terlihat sekali," terang Sri Mulyono, S.sn guru dalang Basuki. PEPADI Bantul sendiri memberikan pelatihan mendalang gratis untuk anak-anak. "Mendalang itu susah. Kita mengajarkan kepada anak itu juga harus telaten dan sabar. Apalagi tembang-tembang yang ada di dalam cerita itu kan banyak dan susah untuk dihapalkan, terang Sri Mulyono lebih lanjut.
Wayang kulit adalah salah satu kesenian tradisional Indonesia yang harus dilestarikan. Dana yang dikeluarkan untuk pertujukkan wayang kulit pun tak sedikit. Dukungan pemerintah dan sponsor sangat diharapkan oleh PEPADI Bantul. Agar kelangsungan kesenian tradisional Indonesia ini tidak punah. "Regenerasi harus tetap tumbuh. Dan saya sangat optimis bahwa kesenian wayang kulit kita bisa tetap terus berjalan. Anak-anak juga harus dikenalkan dengan wayang kulit sejak dini," jelas Sri Mulyono menutup pembicaraan.
Terdengar dari panggung, si dalang mulai pamitan. Hujan masih belum reda. Akhirnya pukulan gong untuk terakhir kalinya menutup pertunjukan Wayang Kulit sore itu. Sejumlah anak berseragam putih merah berhamburan menuruni tangga panggung. Basuki si dalang cilik kita berjalan pelan dibelakang mereka dengan menggunakan beskap hijau. Seorang anak berteriak dengan semangat, "Hore acara kita sukses!"
Tak seperti pertunjukkan wayang biasanya yang selalu menampilkan dalang dari kalangan kaum sepuh, pertunjukkan kali ini digawangi oleh seorang anak laki-laki yang baru berusia 11 tahun. Rahmat Basuki, siswa kelas 6 Sekolah Dasar Sembungan, Kasihan Bantul menghibur pengunjung Taman Budaya dengan pertunjukkan wayang lewat lakon Aji Norontoko. Pada Festival Seni Anak 2008 itu, si bungsu yang kebetulan merupakan anak dari seorang pemain kethoprak ini bekesempatan membawakan lakon Aji Norontoko yang berdurasi selama 2 jam.
Dua tahun sudah Basuki menggeluti dunia pedalangan. Sejak usia 3-4 tahun, Basuki lebih senang menonton acara wayang di salah satu stasiun televisi swasta. "Aku juga senang nonton film kartun, tapi lebih senang nonton wayang kulit di TV," jelasnya polos. Melihat kebiasaan anaknya, Tomi Jumrowi ayah dari Basuki langsung mendaftarkan Basuki ke Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Bantul. "Saya sebagai orang tuanya ya harus mendukung. Jangan sampai keinginan anak itu tidak tersalurkan," jelas Tomi.
Basuki sudah menggelar empat pertunjukkan wayang. Mulai dari hanya mengisi acara 17 Agustus di kampung sampai Bantul Expo yang merupakan acara terbesar yang pernah Basuki ikuti. Dukungan Bapak Ibu guru di sekolah menambah semangat Basuki untuk terjun ke dunia pedalangan. Bahkan dalam acara Pagelaran Dalang Anak di Taman Budaya Yogyakarta kemarin sore, melibatkan teman-teman sekolah Basuki sebagai kelompok karawitan yang mengiringi Lakon yang dibawakan oleh Basuki.
Ayahnya yang tergabung dalam kelompok kethoprak Kecamatan Kasihan, mengalirkan darah seni kepada Basuki. Di sela-sela profesinya sebagai penggali makam di pemakaman Cina Gunung Sempu, Tomi selalu mengajak Basuki untuk berlatih Langen Mondro Wanoro (opera Jawa -red) di tempat Juwaraya pimpinan dari Langen Mondro Budoyo. Tetapi mendalang tetap menjadi pilihan utama Basuki. "Aku nggak punya cita-cita lain selain ingin jadi dalang," ujar Basuki malu-malu.
Kecintaan anak-anak kepada wayang kulit memang cukup besar. "Anak-anak yang sudah mendaftarkan dirinya ke PEPADI Bantul itu sudah banyak. Saya lupa tepatnya. Tapi antusias mereka sangat terlihat sekali," terang Sri Mulyono, S.sn guru dalang Basuki. PEPADI Bantul sendiri memberikan pelatihan mendalang gratis untuk anak-anak. "Mendalang itu susah. Kita mengajarkan kepada anak itu juga harus telaten dan sabar. Apalagi tembang-tembang yang ada di dalam cerita itu kan banyak dan susah untuk dihapalkan, terang Sri Mulyono lebih lanjut.
Wayang kulit adalah salah satu kesenian tradisional Indonesia yang harus dilestarikan. Dana yang dikeluarkan untuk pertujukkan wayang kulit pun tak sedikit. Dukungan pemerintah dan sponsor sangat diharapkan oleh PEPADI Bantul. Agar kelangsungan kesenian tradisional Indonesia ini tidak punah. "Regenerasi harus tetap tumbuh. Dan saya sangat optimis bahwa kesenian wayang kulit kita bisa tetap terus berjalan. Anak-anak juga harus dikenalkan dengan wayang kulit sejak dini," jelas Sri Mulyono menutup pembicaraan.
Terdengar dari panggung, si dalang mulai pamitan. Hujan masih belum reda. Akhirnya pukulan gong untuk terakhir kalinya menutup pertunjukan Wayang Kulit sore itu. Sejumlah anak berseragam putih merah berhamburan menuruni tangga panggung. Basuki si dalang cilik kita berjalan pelan dibelakang mereka dengan menggunakan beskap hijau. Seorang anak berteriak dengan semangat, "Hore acara kita sukses!"
Aku pun ingin menjadi dalang demi bangsa&negara kesenian harus dilestarikan
Kirim Komentar