
"Sejak minyak tanah (bersubsidi -red) hilang, perajin batik Giriloyo kembali ke alam dengan menggunakan kayu bakar untuk memaskan malam," kata Ketua Komunitas Batik Giriloyo, Nur Ahmad kepada GudegNet beberapa waktu lalu di Desa Kerajinan Batik Giriloyo, Imogiri, Bantul Yogyakarta.
Namun demikian, masih ada beberapa perajin batik yang masih tetap menggunakan minyak tanah dengan harga Rp 5.000,00 per liter untuk proses produksi mereka. Kebutuhan tiap-tiap perajin terhadap minyak tanah mencapai satu liter per hari.
"Tapi ada beberapa perajin yang tetap pakai minyak tanah meskipun dengan harga Rp 5.000,00 per liter untuk keperluan sehari mereka," tambahnya.
Mewakili perajin batik Giriloyo, Nur Ahmadi berharap kepada pemerintah agar minyak tanah tetap dan mudah didapatkan meski harganya lebih mahal. Menurutnya usaha mereka akan lebih susah jika tanpa minyak tanah sebagai bahan bakar utama mereka.
"Kami berharap agar pemerintah tetap menjamin minyak tanah itu ada di pasaran dan mudah untuk didapatkan. Karena minyak itu satu-satunya bahan utama bagi usaha kami," katanya.
Saat ini sebenarnya telah ada alat moderen untuk membatik yakni canting elektrik. Namun bagi perajin batik Giriloyo, alat ini belum bisa dipakai dengan aman dan nyaman. Mereka masih saja memilih untuk membatik dengan canting tradisional sebagai alat untuk batik tulis mereka.
Di Giriloyo, saat ini tercatat sekira 1.000 perajin batik tulis yang terdiri dari 10 kelompok usaha. Hingga kini mereka tetap teguh nguri-uri batik tulis warisan budaya leluhur mereka. Untuk pemasaran, mereka masih mengandalkan pada pengunjung yang hadir langsung di Giriloyo. Namun saat ini mereka juga telah melakukan pemasaran dengan menitipkan batik mereka di sejumlah galeri dan toko batik di pusat kota.
Kirim Komentar