Yogyakarta sebagai kota yang sarat akan pluralisme dan mendapat julukan kota yang mengedepankan toleransi menjadi kota yang dikunjungi banyak orang baik untuk menuntut ilmu atau hanya sekadar mencari tempat tinggal agar hidup dengan tenang.
Tapi apakah image yang melekat pada kota Jogja itu sekarang masih menjadi pujaan banyak pihak? Ada banyak pendapat baik yang setuju maupun tak setuju. Yang jelas, Yogyakarta masih mendapat tempat di hati turis mancanegara maupun dalam negeri. Anak muda juga masih terus memilih sekolah atau perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta.
Kekerasan memang bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Tak melihat siapa saja dan dari golongan apa saja orang tersebut. Dalam diskusi publik, refleksi akhir tahun 2008 "Fenomena Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Yogyakarta" yang diadakan di Aula PSI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (18/12) oleh Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai) diulas tentang kekerasan yang marak saat ini.
Teguh Wahono, Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu Direktorat Reskrim Polda DI Yogyakarta mengatakan bahwa Yogyakarta sebagai daerah yang kaya akan berbagai macam perbedaan, tingkat kekerasannya masih minim dibanding dengan daerah lainnya seperti Makassar contohnya.
Teguh juga mengungkapkan bahwa dalam kehidupan yang beragam ini hendaknya kita saling meghormati dan menghargai Hak Asasi Manusi (HAM) sesama kita. "HAM merupakan jembatan menuju perilaku beradab," jelasnya. Pemeriksaan terhadap pelaku kejahatan sekarang sudah tak ada lagi yang main tangan, sudah tak ada yang dipaksa mengaku sebagai "penjahat" lagi, begitu kata Teguh. "Kalaupun ada, itu merupakan suatu halangan," ungkapnya.
Budi Wahyuni, seorang aktivis perempuan dan ketua Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) yang juga menjadi pembicara dalam diskusi publik tersebut menyatakan bahwa kondisi masyarakat Indonesia khususnya kota Jogja kini sudah lelah dengan jargon-jargon dan janji-janji yang diberikan pemerintah. Masyarakat sudah tidak membutuhkan janji yang hanya jadi teori semata, masyarakat butuh bukti nyata. Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat kita selama ini cenderung diselesaikan dengan proses yang instan tanpa proses hukum yang jelas. Hal ini kemudian menyebabkan sedikitnya ruang yang melihat manusia sebagai subyek.
Budi melihat kasus yang belum diselesaikan secara hukum masih menumpuk di meja para aparat penegak hukum. Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui produk kebijakan yang kondusif masih minim. Ditambah pemahaman akan HAM itu sendiri masih kurang dan tak ada kewajiban untuk mempelajari HAM. "Ini akan menciptakan ketergantungan yang tidak menyebabkan proses yang menuju kemandirian melalui pendidikan kritis," ujar Budi.
Pernyataan yang diungkap Budi, seolah bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Teguh Wahono. Untuk mengatasi ini Budi menawarkan beberapa solusi. Semua pihak baik pemerintah, sosiolog, antropolog, politisi, tokoh agama dan masyarakat sendiri juga harus saling bersinergi. Hendaknya pendidikan HAM diberikan sedari dini, peraturan yang didasari perlindungan HAM dan amandemen Undang-Undang yang masih diskriminatif harus segera diubah dan harus menyertakan pendidikan politik yang mengedepankan pemenuhan HAM secara elegan bukan ala preman. "Kalau mau menggusur rumah ya jangan asal gusur saja. Mbok ya coba didatangkan sosiolog untuk melihat kondisi masyarakat yang ada di tempat yang mau digusur itu. Jangan asal tabrak aja," jelas Budi.
Berbicara tentang HAM memang tak akan ada habisnya. Kesadaran dari berbagai pihak memang yang menjadi kunci utama untuk bisa saling menghargai dan menghormati serta menghindari kekerasan. Bagaimanpun juga sekarang adalah waktu kita untuk melakukan perubahan ke arah perbaikan dalam berkehidupan yang mengedepankan prinsip-prinsip HAM.
Hapus tindak kekerasan!
Tapi apakah image yang melekat pada kota Jogja itu sekarang masih menjadi pujaan banyak pihak? Ada banyak pendapat baik yang setuju maupun tak setuju. Yang jelas, Yogyakarta masih mendapat tempat di hati turis mancanegara maupun dalam negeri. Anak muda juga masih terus memilih sekolah atau perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta.
Kekerasan memang bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Tak melihat siapa saja dan dari golongan apa saja orang tersebut. Dalam diskusi publik, refleksi akhir tahun 2008 "Fenomena Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Yogyakarta" yang diadakan di Aula PSI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (18/12) oleh Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai) diulas tentang kekerasan yang marak saat ini.
Teguh Wahono, Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu Direktorat Reskrim Polda DI Yogyakarta mengatakan bahwa Yogyakarta sebagai daerah yang kaya akan berbagai macam perbedaan, tingkat kekerasannya masih minim dibanding dengan daerah lainnya seperti Makassar contohnya.
Teguh juga mengungkapkan bahwa dalam kehidupan yang beragam ini hendaknya kita saling meghormati dan menghargai Hak Asasi Manusi (HAM) sesama kita. "HAM merupakan jembatan menuju perilaku beradab," jelasnya. Pemeriksaan terhadap pelaku kejahatan sekarang sudah tak ada lagi yang main tangan, sudah tak ada yang dipaksa mengaku sebagai "penjahat" lagi, begitu kata Teguh. "Kalaupun ada, itu merupakan suatu halangan," ungkapnya.
Budi Wahyuni, seorang aktivis perempuan dan ketua Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) yang juga menjadi pembicara dalam diskusi publik tersebut menyatakan bahwa kondisi masyarakat Indonesia khususnya kota Jogja kini sudah lelah dengan jargon-jargon dan janji-janji yang diberikan pemerintah. Masyarakat sudah tidak membutuhkan janji yang hanya jadi teori semata, masyarakat butuh bukti nyata. Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat kita selama ini cenderung diselesaikan dengan proses yang instan tanpa proses hukum yang jelas. Hal ini kemudian menyebabkan sedikitnya ruang yang melihat manusia sebagai subyek.
Budi melihat kasus yang belum diselesaikan secara hukum masih menumpuk di meja para aparat penegak hukum. Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui produk kebijakan yang kondusif masih minim. Ditambah pemahaman akan HAM itu sendiri masih kurang dan tak ada kewajiban untuk mempelajari HAM. "Ini akan menciptakan ketergantungan yang tidak menyebabkan proses yang menuju kemandirian melalui pendidikan kritis," ujar Budi.
Pernyataan yang diungkap Budi, seolah bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Teguh Wahono. Untuk mengatasi ini Budi menawarkan beberapa solusi. Semua pihak baik pemerintah, sosiolog, antropolog, politisi, tokoh agama dan masyarakat sendiri juga harus saling bersinergi. Hendaknya pendidikan HAM diberikan sedari dini, peraturan yang didasari perlindungan HAM dan amandemen Undang-Undang yang masih diskriminatif harus segera diubah dan harus menyertakan pendidikan politik yang mengedepankan pemenuhan HAM secara elegan bukan ala preman. "Kalau mau menggusur rumah ya jangan asal gusur saja. Mbok ya coba didatangkan sosiolog untuk melihat kondisi masyarakat yang ada di tempat yang mau digusur itu. Jangan asal tabrak aja," jelas Budi.
Berbicara tentang HAM memang tak akan ada habisnya. Kesadaran dari berbagai pihak memang yang menjadi kunci utama untuk bisa saling menghargai dan menghormati serta menghindari kekerasan. Bagaimanpun juga sekarang adalah waktu kita untuk melakukan perubahan ke arah perbaikan dalam berkehidupan yang mengedepankan prinsip-prinsip HAM.
Hapus tindak kekerasan!
Kirim Komentar