Hingga tahun 1999, masyarakat Tionghoa di Indonesia hidup dalam belenggu. Segala hal yang terkait dengan budaya, agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa dilarang dilakukan di muka umum. Barongsai, liang liong, huruf-huruf atau lagu Mandarin adalah tabu untuk diperlihatkan dan diperdengarkan publik, apalagi perayaan tahun baru Imlek.
Baru pada 9 April 2002, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur akhirnya mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Soeharto. Bahkan pada kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tertanggal 9 April 2002.
"Sejak Gus Dur yang mencabut Inpres No 14/1967, masyarakat Tionghoa di Indonesia terlepas dari belenggu, kata Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dihadapan masyarakat Tionghoa dan masyarakat umum saat membuka Pekan Budaya Tionghoa IV-2009 di daerah pecinan Ketandan, Danurejan Kota Yogyakarta, Kamis sore (05/02/09).
Dengan kebebasan tersebut, Sultan mengharapkan agar masyarakat Tionghoa khususnya pemuda-pemudinya mampu berkreasi melalui kebudayaan yang mereka punyai seperti masyarakat lain di Yogyakarta.
"Jangan sampai generasi muda Tionghoa mengalami amnesia budaya karena selama ini dibelenggu. Mereka harus mampu membuat karya cipta baru dari budaya mereka sebagai bagian masyarakat di Yogyakarta, bukanya memilih gaya hidup barat" ujar Sultan.
Sultan menambahkan, Yogyakarta adalah tempat berinteraksinya berbagai macam kebudayaan. Satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya memungkinkan untuk berakulturasi sehingga menciptakan budaya baru tanpa menginggalkan akar budaya aslinya.
"Yogyakarta adalah the city of tolerance dan melting pot bagi berbagai kebudayaan yang ada untuk mengalami akulturasi. Kehidupan multikutural sangat dihargai di sini," katanya.
Pekan Budaya Tionghoa IV-2009 selanjutnya dibuka secara resmi oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono dan Walikota Yogyakarta Herry Zudianto dengan memukul gendang barongsai setelah sebelumnya Ngarso Dalem mendapatkan hadiah wayang poo tay hee dari perwakilan panitia.
Sementara itu Ketua Umum Pekan Budaya Tionghoa IV-2009, Tri Kirana Muslidatun mengatakan perayaan Tahun Baru Imlek 2650 Kota Yogyakarta kali ini mengangkat tema "Ragam Budaya Rakyat". Itu berarti budaya lain selain Tionghoa juga akan tampil di Pekan Budaya Tionghoa IV-2009.
Kegiatan bazar dan pameran ini diikuti oleh sekitar 60 stand pameran dan akan berlangsung selama lima hari hingga 9 Februari mendatang. Sejumlah kegiatan akan tampil dalam acara ini seperti panggung hiburan, bazar, karnaval, lomba bahasa Mandarin, tarian barongsai, pameran dan pertunjukan wayang poo tay hee hingga fashion show Budaya Tionghoa dalam Batik.
Rencananya, Pekan Budaya Tionghoa IV-2009 yang dipusatkan Pecinan Ketandan Danurejan Yogyakarta ini juga akan diramaikan dengan karnaval yang akan menyusuri Jalan Malioboro dari taman parkir Abu Bakar Ali hingga kawasan Ketandan, sebelum Pasar Beringharjo.
Baru pada 9 April 2002, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur akhirnya mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Soeharto. Bahkan pada kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tertanggal 9 April 2002.
"Sejak Gus Dur yang mencabut Inpres No 14/1967, masyarakat Tionghoa di Indonesia terlepas dari belenggu, kata Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dihadapan masyarakat Tionghoa dan masyarakat umum saat membuka Pekan Budaya Tionghoa IV-2009 di daerah pecinan Ketandan, Danurejan Kota Yogyakarta, Kamis sore (05/02/09).
Dengan kebebasan tersebut, Sultan mengharapkan agar masyarakat Tionghoa khususnya pemuda-pemudinya mampu berkreasi melalui kebudayaan yang mereka punyai seperti masyarakat lain di Yogyakarta.
"Jangan sampai generasi muda Tionghoa mengalami amnesia budaya karena selama ini dibelenggu. Mereka harus mampu membuat karya cipta baru dari budaya mereka sebagai bagian masyarakat di Yogyakarta, bukanya memilih gaya hidup barat" ujar Sultan.
Sultan menambahkan, Yogyakarta adalah tempat berinteraksinya berbagai macam kebudayaan. Satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya memungkinkan untuk berakulturasi sehingga menciptakan budaya baru tanpa menginggalkan akar budaya aslinya.
"Yogyakarta adalah the city of tolerance dan melting pot bagi berbagai kebudayaan yang ada untuk mengalami akulturasi. Kehidupan multikutural sangat dihargai di sini," katanya.
Pekan Budaya Tionghoa IV-2009 selanjutnya dibuka secara resmi oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono dan Walikota Yogyakarta Herry Zudianto dengan memukul gendang barongsai setelah sebelumnya Ngarso Dalem mendapatkan hadiah wayang poo tay hee dari perwakilan panitia.
Sementara itu Ketua Umum Pekan Budaya Tionghoa IV-2009, Tri Kirana Muslidatun mengatakan perayaan Tahun Baru Imlek 2650 Kota Yogyakarta kali ini mengangkat tema "Ragam Budaya Rakyat". Itu berarti budaya lain selain Tionghoa juga akan tampil di Pekan Budaya Tionghoa IV-2009.
Kegiatan bazar dan pameran ini diikuti oleh sekitar 60 stand pameran dan akan berlangsung selama lima hari hingga 9 Februari mendatang. Sejumlah kegiatan akan tampil dalam acara ini seperti panggung hiburan, bazar, karnaval, lomba bahasa Mandarin, tarian barongsai, pameran dan pertunjukan wayang poo tay hee hingga fashion show Budaya Tionghoa dalam Batik.
Rencananya, Pekan Budaya Tionghoa IV-2009 yang dipusatkan Pecinan Ketandan Danurejan Yogyakarta ini juga akan diramaikan dengan karnaval yang akan menyusuri Jalan Malioboro dari taman parkir Abu Bakar Ali hingga kawasan Ketandan, sebelum Pasar Beringharjo.
Kirim Komentar