Hiburan

Rhythms Meeting, Ketika Beberapa Kultur Bermusik Bersama

Oleh : Iwan Pribadi / Senin, 00 0000 00:00
Rhythms Meeting, Ketika Beberapa Kultur Bermusik Bersama

Rhythms Meeting - Jagongan WagenMalam itu (05/02), jalan menuju Padepokan Bagong Kussudiarja dipenuhi oleh mobil dan sepeda motor yang berbaris antri mencari tempat parkir di sekitar lokasi padepokan tersebut.

Mereka yang datang berbondong-bondong malam itu dalam rangka ingin menyaksikan Jagongan Wagen edisi bulan Februari 2009, yang kali ini menampilkan pertunjukkan musik Jazz bertajuk Rhythms Meeting, yang merupakan hasil kerjasama dari Lembaga Indonesia Perancis dengan Yayasan Bagong Kussudiarja.

Nampaknya memang Jagongan Wagen kali ini agak berbeda dengan acara-acara Jagongan Wagen yang pernah diselenggarakan sebelumnya. Selain dari sisi para penonton yang sangat banyak dan membludak sehingga merupakan perjuangan tersendiri ketika mencari tempat parkir kendaraan, juga dari segi para artis yang tampil di pertunjukkan musik kali ini.

Rhythms Meeting merupakan sebuah proyek yang mempertemukan musisi Perancis dengan musisi-musisi dari belahan dunia lain, yaitu Fancois Lindemann (Swiss) pada piano, Jacques Schwarz-bart (Perancis) pada saxophone, Claude Tchamitchian (Perancis) yang memainkan Kontra Bass, Sangoma Everett (Amerika Serikat) memainkan drum, Ling Ling Yu (Cina) memainkan Mandolin Cina, Aziz Boulaaroug (Maroko) pada perkusi, Abdelaziz El Achhab (Maroko) memainkan biola,  dan tidak ketinggalan Djaduk Ferianto (perkusi) dan Purwanto (gamelan) dari Indonesia.

Sesuai dengan namanya, Rhtyhms Meeting ini benar-benar merupakan suatu pertemuan dan perjumpaan dari perjalanan yang berasal dari berbagai macam sumber kultural yang melatarbelakangi masing-masing pemain musik di sini.

Sebutlah Abdelaziz El Achhab dan Aziz Boulaaroug yang walaupun sama-sama berasal dari Maroko, akan tetapi memiliki latar belakang kultural musik yang agak berbeda, di mana Abdelaziz El Achhab nampaknya lebih dekat dengan musik-musik klasik barat, sementara Aziz Boulaaroug (Maroko) nampaknya lebih akrab dengan musik-musik tradisional etnik Maroko. Perbedaan-perbedaan seperti inilah antara lain yang berusaha dipertemukan melalui proyek ini.

Rhythms Meeting - Jagongan WagenHal itu dapat ditemui antara lain ketika Ling Ling Yu, Claude Tchamitchian, dan Aziz Boulaaroug memainkan sebuah komposisi yang dibuka dengan permainan kontra bass dari Claude Tchamitchian, lalu diikuti oleh Ling Ling Yu yang turut memetik kontra bass yang sedang dimainkan oleh Claude dengan gaya memetik selayaknya memainkan mandolin Cina, tentu saja suara yang muncul adalah suara yang khas dan jarang ditemui sebelumnya oleh telinga para penonton malam itu.

Belum lagi perkusi Aziz Boulaaroug yang ikut mewarnai komposisi tersebut dengan perkusi khas Maroko-nya, sehingga yang tercipta adalah pertemuan budaya musik yang walaupun secara kasat mata, diatas panggung dapat dilihat ada tiga macam alat musik dari tiga macam budaya berbeda yang sedang dimainkan, namun dari sisi pendengaran dan rasa, yang didapatkan adalah sebuah kesatuan permainan musik yang tidak bisa dengan mudah dipilah-pilah asal muasalnya hanya berdasarkan suara dari masing-masing alat musik tersebut. Singkatnya, yang muncul adalah sebuah musik baru yang mempunyai warna baru yang lebih dari sekedar penggabungan tiga macam alat musik yang berbeda asal-usulnya saja.

Penonton pertunjukkan ini semakin ikut merasakan dan terbawa dengan permainan musik ini ketika diperdengarkan  Lir Ilir, sebuah lagu tradisional Jawa yang sudah sangat akrab di telinga sebagian besar penonton. Diawali dari suara biola, kemudian sambung menyambung dengan beberapa alat musik lain sehingga para penonton seolah-olah disuguhi lagu Lir Ilir dengan nuansa Jawa, Cina, Maroko, dan Barat, yang kadang muncul secara berganti-gantian.

Acara yang berakhir sekitar pukul 21:30 WIB, masih dilanjutkan beberapa saat untuk memberikan kesempatan bagi para pemain musik untuk menceritakan bagaimana proses perjalanan dari awal, selain itu juga mereka memberikan kesan-kesan mereka selama berproses di Indonesia bersama musisi Indonesia, dan kesan mereka ketika bermain di Padepokan Bagong Kussudiardja.

Akhirnya setelah berlangsung selama kurang lebih dua jam, Jagongan Wagen kali ini benar-benar meninggalkan kenangan, wawasan, dan cara pandang baru seputar musik, jazz, dan bagaimana budaya-budaya yang berbeda dapat ngobrol bersama dengan luwes, lalu kemudian memunculkan hal yang baru dan menarik darinya.
 
Foto: Jeng Jajoek

0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RetjoBuntung 99.4 FM


    JIZ 89,5 FM

    JIZ 89,5 FM

    Jiz 89,5 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    GCD 98,6 FM

    GCD 98,6 FM

    Radio GCD 98,6 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini