Matahari sedang teriknya siang itu. Sepertinya jaraknya tak berada jauh di atas kepala. Namun, Parnoto dan empat temannya tak bergeming. Pria berusia 46 tahun ini dengan semangat memainkan kenong dan gong kecil untuk mengiringi dua temannya yang tak kalah semangatnya beraksi di pertigaan Janti, Sleman, Yogyakarta.
Dibantu temannya yang bertugas memukul snare dan simbal sederhana, Parnoto berperan penting dalam memainkan ritme tabuhan jathilan. Selagi ia dan temannya memukul alat musiknya, kedua temannya Widodo dan Dian dengan lincah meliuk-liukkan tubuhnya tepat berada di atas jalur penyeberangan lampu merah.
Menjelang lampu berubah hijau, Dian yang selalu siap sedia dengan kotak ngamennya akan mendatangi pengendara sepeda motor dengan harapan mereka bersimpati dengan apa yang telah dikerjakannya. Berapapun yang diberi adalah rejeki yang sangat berarti untuk mereka.
"Kadang orang memberi seratus, lima ratus, malah ada yang memberi lima ribu. Bagi kami, diberi atau tidak, itu adalah rejeki bagi kami," kata Parnoto.
Bagi Parnoto, lampu merah adalah peluang baginya dkk untuk bekerja dan menerima imbalan dari aksi jathilan mereka di sejumlah lampu merah di Yogyakarta. Baginya, tak ada perasaan apapun ketika harus tampil mengamen jathilan selain kewajiban menghidupi anak istrinya di Kedu, Temanggung, Jawa Tengah.
"Ini pekerjaan yang saya bisa untuk menghasilkan uang dan menghidupi anak dan istri saya di rumah," tandasnya.
Berangkat dari Temanggung, Parnoto dkk adalah satu dari lima kelompok pengamen jathilan di Yogyakarta yang beraksi di sejumlah lampu merah. Dengan peralatan dan perlengkapan seadanya, Parnoto tetap mencoba tampil profesional dengan memberikan atraksi hiburan tradisional yang terbaik bagi pengendara yang terhenti di lampu merah.
Dibantu temannya yang bertugas memukul snare dan simbal sederhana, Parnoto berperan penting dalam memainkan ritme tabuhan jathilan. Selagi ia dan temannya memukul alat musiknya, kedua temannya Widodo dan Dian dengan lincah meliuk-liukkan tubuhnya tepat berada di atas jalur penyeberangan lampu merah.
Menjelang lampu berubah hijau, Dian yang selalu siap sedia dengan kotak ngamennya akan mendatangi pengendara sepeda motor dengan harapan mereka bersimpati dengan apa yang telah dikerjakannya. Berapapun yang diberi adalah rejeki yang sangat berarti untuk mereka.
"Kadang orang memberi seratus, lima ratus, malah ada yang memberi lima ribu. Bagi kami, diberi atau tidak, itu adalah rejeki bagi kami," kata Parnoto.
Bagi Parnoto, lampu merah adalah peluang baginya dkk untuk bekerja dan menerima imbalan dari aksi jathilan mereka di sejumlah lampu merah di Yogyakarta. Baginya, tak ada perasaan apapun ketika harus tampil mengamen jathilan selain kewajiban menghidupi anak istrinya di Kedu, Temanggung, Jawa Tengah.
"Ini pekerjaan yang saya bisa untuk menghasilkan uang dan menghidupi anak dan istri saya di rumah," tandasnya.
Berangkat dari Temanggung, Parnoto dkk adalah satu dari lima kelompok pengamen jathilan di Yogyakarta yang beraksi di sejumlah lampu merah. Dengan peralatan dan perlengkapan seadanya, Parnoto tetap mencoba tampil profesional dengan memberikan atraksi hiburan tradisional yang terbaik bagi pengendara yang terhenti di lampu merah.
Kirim Komentar