...Parnoto meraup karung berisikan koin untuk membayar makan siang mereka berlima. Dua tapak tangannya sepertinya tak akan cukup untuk memuat uang koin sejumlah Rp 40 ribu...
Di sela lampu lalu-lintas pertigaan Janti yang menyala hijau, di saat itulah Parnoto sekawan juga menyempatkan diri menghela nafas dengan menghentikan aksi jathilannya sembari menunggu lampu kembali menyala merah.
Meski sejatinya masih ingin terus melanjutkan pekerjannya, panas matahari yang semakin menyengat dan perut yang semakin tak bisa diajak kompromi memaksa Parnoto menghentikan kegiatannya untuk sekadar mengisi perut dan ngaso untuk beberapa waktu.
Di sekitar pertigaan Janti, parnoto dkk harus mencari warung makan yang sekiranya cocok untuknya. Setelah tak lama mencari, sebuah warung sederhana dijumpainya di sebuah gang kecil di sebelah barat fly over, sekitar 50 meter dari lokasinya beraksi.
Setelah mendapati pemilik warung yang ternyata telah menjadi langganannya, Parnoto dkk--yang masih lengkap dengna kostum jathilannya--langung memesan sepiring nasi beserta lauk dan segelas minuman untuk menghentikan lapar dan dahaganya.
"Nasi sayur dengan ikan pak, minumnya es teh," pinta Parnoto diikuti oleh keempat temannya yang juga terlihat tak sabar untuk santap siang.
Tak sedikit orang yang singgah di warung--tempat Parnoto makan--melihat dengan agak terheran-heran kepada mereka yang mengenakan kostum jathilan sambil makan dengan lahap. Tapi Parnoto dkk tak bereaksi, mereka bahkan semakin lahap menghabiskan menu makan siangnya.
Menurut Parnoto, warung tempatnya makan tersebut adalah warung langganannya. Ketika pertama kali mendatangi daerah Janti, pemilik warung pula yang membantunya menunjukkan rumah ketua RT untuk meminta ijin njathil di Janti.
Ternyata untuk menjalankan pekerjaannya tidaklah mudah. Layaknya TKI, Parnoto harus melalui sejumlah persyaratannya yang harus dilakukan sebelum memulai kegitan jathilannya.
"Dari rumah saya membawa surat pengantar dari kampung saya di Kedu, Temanggung yang menyatakah keperluan saya. Sebelum mulai njathil, saya harus kulonuwun dulu kepada RT setempat. Setelah itu baru meminta ijin kepada petugas kepolisian yang piket di lampu merah yang saya datangi," katanya kepada GudegNet sambil sesekali minum es teh yang dipesannya.
Asap rokok yang mengepul menjadi pertanda usainya acara makan siang Parnoto dkk. Mereka berlima kemudian meminta sang pemilik warung untuk menghitung total uang makan yang harus dibayarkan.
"Empat puluh satu ribu enam ratus rupiah," kata pemilik warung setelah menghitung total makanan dari lima sekawan ini. Dengan santai, Parnoto meraih kantong beras yang meraup ratusan koin berisikan pecahan ratusan hingga ribuan rupiah. Dua telapak tangannya sepertinya tak cukup untuk memuat koin dengan nominal sekitar Rp 40 ribuan. Dimintainya temannya untuk membantunya seraya menghitung koin tersebut sesuai dengan jumlah harga makanannya.
Karung berisikan uang receh yang tadinya cukup berisi, kini hampir seperti ketika pertama kali mulai njathil. Hanya beberapa yang tersisa setelah digunakan untuk membayar makan siang mereka.
Tak ada pilihan lagi. Parnoto harus kembali mengisi karungnya dengan koin. Usai makan dan istirahat sekadarnya, parnoto dkk pun harus kembali ke panggungnya di pertigaan Janti untuk beraksi jathilan. Sesampainya di lokasi, ternyata perutnya masih terlalu padat untuk mulai bekerja. Mereka pun menyempatkan diri rebahan di bawah jembatan layang Janti.
Beberapa saat kemudian, salah seorang pengamen yang telah lama berkasi di lampu merah pertigaan Janti mendatangi Parnoto dkk. Pengamen yang hanya bermodalkan icik-icik terbuat dari tutup botol itu tanpa basa-basi minta sebagian dari penghasilan mereka sebagai satu cara solidaritas antar sesama pengamen. Parnoto pun harus merelakan beberapa koinnya untuk diberikan kepada si pengamen yang notabene telah duluan beroperasi di pertigaan Janti.
Waktunya kembali bekerja. Selagi masih terang dan panas, itulah saat yang sempurna bagi Parnoto dkk untuk kembali mengisi karung koinnya yang telah semakin menyusut. Masih ada sekitar empat hingga lima jam lagi untuk mengumpulkan uang kecil demi mengisi perut mereka dan keluarga mereka di rumah.
Di sela lampu lalu-lintas pertigaan Janti yang menyala hijau, di saat itulah Parnoto sekawan juga menyempatkan diri menghela nafas dengan menghentikan aksi jathilannya sembari menunggu lampu kembali menyala merah.
Meski sejatinya masih ingin terus melanjutkan pekerjannya, panas matahari yang semakin menyengat dan perut yang semakin tak bisa diajak kompromi memaksa Parnoto menghentikan kegiatannya untuk sekadar mengisi perut dan ngaso untuk beberapa waktu.
Di sekitar pertigaan Janti, parnoto dkk harus mencari warung makan yang sekiranya cocok untuknya. Setelah tak lama mencari, sebuah warung sederhana dijumpainya di sebuah gang kecil di sebelah barat fly over, sekitar 50 meter dari lokasinya beraksi.
Setelah mendapati pemilik warung yang ternyata telah menjadi langganannya, Parnoto dkk--yang masih lengkap dengna kostum jathilannya--langung memesan sepiring nasi beserta lauk dan segelas minuman untuk menghentikan lapar dan dahaganya.
"Nasi sayur dengan ikan pak, minumnya es teh," pinta Parnoto diikuti oleh keempat temannya yang juga terlihat tak sabar untuk santap siang.
Tak sedikit orang yang singgah di warung--tempat Parnoto makan--melihat dengan agak terheran-heran kepada mereka yang mengenakan kostum jathilan sambil makan dengan lahap. Tapi Parnoto dkk tak bereaksi, mereka bahkan semakin lahap menghabiskan menu makan siangnya.
Menurut Parnoto, warung tempatnya makan tersebut adalah warung langganannya. Ketika pertama kali mendatangi daerah Janti, pemilik warung pula yang membantunya menunjukkan rumah ketua RT untuk meminta ijin njathil di Janti.
Ternyata untuk menjalankan pekerjaannya tidaklah mudah. Layaknya TKI, Parnoto harus melalui sejumlah persyaratannya yang harus dilakukan sebelum memulai kegitan jathilannya.
"Dari rumah saya membawa surat pengantar dari kampung saya di Kedu, Temanggung yang menyatakah keperluan saya. Sebelum mulai njathil, saya harus kulonuwun dulu kepada RT setempat. Setelah itu baru meminta ijin kepada petugas kepolisian yang piket di lampu merah yang saya datangi," katanya kepada GudegNet sambil sesekali minum es teh yang dipesannya.
Asap rokok yang mengepul menjadi pertanda usainya acara makan siang Parnoto dkk. Mereka berlima kemudian meminta sang pemilik warung untuk menghitung total uang makan yang harus dibayarkan.
"Empat puluh satu ribu enam ratus rupiah," kata pemilik warung setelah menghitung total makanan dari lima sekawan ini. Dengan santai, Parnoto meraih kantong beras yang meraup ratusan koin berisikan pecahan ratusan hingga ribuan rupiah. Dua telapak tangannya sepertinya tak cukup untuk memuat koin dengan nominal sekitar Rp 40 ribuan. Dimintainya temannya untuk membantunya seraya menghitung koin tersebut sesuai dengan jumlah harga makanannya.
Karung berisikan uang receh yang tadinya cukup berisi, kini hampir seperti ketika pertama kali mulai njathil. Hanya beberapa yang tersisa setelah digunakan untuk membayar makan siang mereka.
Tak ada pilihan lagi. Parnoto harus kembali mengisi karungnya dengan koin. Usai makan dan istirahat sekadarnya, parnoto dkk pun harus kembali ke panggungnya di pertigaan Janti untuk beraksi jathilan. Sesampainya di lokasi, ternyata perutnya masih terlalu padat untuk mulai bekerja. Mereka pun menyempatkan diri rebahan di bawah jembatan layang Janti.
Beberapa saat kemudian, salah seorang pengamen yang telah lama berkasi di lampu merah pertigaan Janti mendatangi Parnoto dkk. Pengamen yang hanya bermodalkan icik-icik terbuat dari tutup botol itu tanpa basa-basi minta sebagian dari penghasilan mereka sebagai satu cara solidaritas antar sesama pengamen. Parnoto pun harus merelakan beberapa koinnya untuk diberikan kepada si pengamen yang notabene telah duluan beroperasi di pertigaan Janti.
Waktunya kembali bekerja. Selagi masih terang dan panas, itulah saat yang sempurna bagi Parnoto dkk untuk kembali mengisi karung koinnya yang telah semakin menyusut. Masih ada sekitar empat hingga lima jam lagi untuk mengumpulkan uang kecil demi mengisi perut mereka dan keluarga mereka di rumah.
Kirim Komentar