
Perayaan Tawur Agung Kesanga yang selalu digelar sebagai perayaan Hari Raya Nyepi oleh umat Hindu DIY dan Jateng di Candi Prambanan dinilai memiliki daya tarik wisata budaya yang tinggi.
Hal ini terbukti oleh banyaknya wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara yang menyempatkan diri berkunjung ke Candi Hindu yang dibangun pada masa dinasti Sanjaya sekitar abad ke-9 tersebut.
Keselarasan dalam kehidupan perlahan semakin nyata tatkala Sang Pedanda yang mengalunkan doa pujian dalam Bahasa Bali diiringi dengan alunan musik tradisional khas Jawa. Perpaduan dua budaya yang berbeda niscaya memunculkan nuansa unik yang patut diapresiasi.
Lousiana, seorang wisatawan asal Yunani yang turut menyaksikan seremonial perayaan Tawur Agung Kesanga menyatakan kekagumannya terhadap budaya multikultur yang ada di Indonesia, yang bisa menjadi aset pariwisata bagi seluruh dunia.
Menurutnya, toleransi antarumat beragama di Indonesia yang terwujud melalui Upacara Tawur Agung di Candi Prambanan adalah satu bukti bahwa tidak ada masalah dengan perbedaan agama dan kepercayaan di Indonesia. Meski berbeda, semua bisa berjalan dengan seiringan.
"Umat beragama di sini (Indonesia -red) bebas menjalankan ibadahnya mereka di tempat ibadah masing-masing tanpa ada rasa takut dan ada yang mengganggu," katanya di Candi Prambanan, Senin (15/3).
Sementara itu terkait sejumlah aksi terorisme yang kebetulan terjadi di Indonesia, Lousiana menegaskan bahwa dirinya tidak akan menilai bahwa kelompok agama tertentu yang melakukan aksi yang tidak sesuai dengan peri kemanusiaan tersebut.
"Teror bisa dilakukan oleh siapa saja. Bukan hanya oleh kelompok agama tertentu. Tapi yang penting adalah kerukunan antarumat beragama di Indonesia harus disebarluaskan ke luar negeri untuk memperbaiki citra Indonesia," tandasnya.
Sementara itu, Tawur Agung adalah seremoni yang perayaan menjelang Hari Raya Nyepi yang didahului dengan nuwur tirta di Candi Brahma, Wisnu, dan Shiwa yang kemudian di lanjutkan dengan prosesi mendak tirta yang diisi dengan Tari Rejang Dewa, Jempana, dan Ogoh-ogoh.
Menurut Ketua Sulinggih Parisada Pusat serta Pandita dan Pinandita di DIY dan Jateng I Nyoman Surahatta, Menurut ajaran Hindu, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini senantiasa owah gingsir atau berjalan selaras dengan hukum alam. Menyadari sabagai umat yang dianugerahi wiweka, menyikapi segala permasalahan yang muncul di dunia ini, akan polah dan pasrah dengan pendekatan Tripramana yakni Sabda, Anumana dan Pratyaksa sebagai pemecahan secara utuh lahir maupun batin.
"Agar alam semesta ini kembali pada tatanan kosmis, sehingga kita dapat memasuki tahun baru Saka dengan khidmat, maka seraya polah perlu dilakukan pasrah dengan melaksanakan Upacara Wisuda Bumi atau tawur Kesanga pada Tilem Sasih Kesanga," ujarnya.
Upacara Tawur Agung Kesangga juga menampilkan tarian sakral pengiring Yadnya dan pemujaan yang akan diikuti oleh ratusan umat Hindu dan undangan yang hadir di Candi Prambanan. Usai upacara Tawur Agung, prosesi dilanjutkan dengan Nganteb Caru oleh Sri Mpu dibantu lima orang wasi dengan kidung dharma gita, baleganjur, dan tarian ogoh-ogoh.
Menurutnya, Tawur Kesanga atau Wisuda Bumi adalah upacara Bhutayadnya yang artinya korban suci yg diperuntukkan bagi para bhutakala demi kesejahteraan dan kelestarian alam semesta yang dilaksanakan sehari sebelum hari Raya Nyepi. Landasan filosofisnya sebagaimana yang tersirat dalam Mahabarata, salah satunya menceritakan Dewi Kunti bersama putra-putranya para Pandawa ditengah pengembaraannya di hutan belantara.
"Ketika itu Dewi Durga atau Ratu Bhutakala datang meminta salah satu putranya untuk dijadikan tumbal agar dia dapat kembali menjadi Dewi Uma, namun Kunti keberatan dan kesempatan tersebut digunakan sebagai persembahan. Keikhlasan tersebut yang melepaskan Dewi Durga dari kutukan dan kembali menjelma menjadi Dewi Uma dan Pandawa memperoleh ganjaran dan alam semesta kembali ke tatanan kosmis. Dalam upacara ini jiwa raga digantian dengan hewan semisal ayam, kambing, anjing dan kerbau," paparnya.
Lebih lanjut I Nyoman Surahatta memaparkan bahwa prosesi upacara dibuat sedemikian menarik dengan tidak mengurangi sifat religius dan tatanan upacara dan ikut memelihara candi Prambanan secara niskala agar senantiasa terjaga aura candi. "Mengingat perkembangan teknologi ketika itu yang dibarengi niskala dan dilandasi dengan kultur Hindu," pungkasnya.
Kirim Komentar