Memasuki usianya yang ke-17, organisasi non profit Rifka Annisa menegaskan niatnya untuk terus konsisten membela dan memberikan advokasi kepada kaum perempuan dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan.
Hal itu dibuktikan oleh organisasi yang didirikan sejak 26 Agustus 1993 itu dengan terus memberdayaan perempuan korban kekerasan termasuk di dalamnya anak-anak, lanjut usia dan difabel.
Selain itu, berbagai upaya sosialisasi seperti kampanye, ceramah, talkshow dan lain sebagainya terus digelar. Di usia yang ke 17 ini, dengan moto "Bekerja Dengan Hati, Berjuang Dengan Strategi", Rifka Annisa ke depan juga akan membuat program-program kegiatan dengan pendekatan di bidang kebudayaan.
"Ke depan kami ingin membuka diri dengan memasukan isu-isu tersebut pada kegiatan seni dan budaya. Karena menurut kami ini salah satu cara agar masyarakat dapat lebih mudah mengerti dengan kegiatan yang dekat dengan keseharian, sebagai kegiatan yang menjadi satu kesatuan dan bukan terpisah," ujar Direktur Rifka Annisa, Mei Shofan Rosan di acara peringatan HUT ke 17 Rifka Annisa di Jl. Jambon Yogyakarta, Kamis (26/8).
Menurutnya, masyarakat Indonesia pada umumnya dan di Jogja pada khususnya secara umum tidak bisa lepas dari kegiatan seni dan budaya, seperti upacara adat, ritual, pengajian, istigosah atau acara kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, kegiatan itu juga akan digunakan dan dimasukan oleh Rifka Annisa untuk mengangkat isu-isu perempuan.
"untuk itu kami menggandeng seniman dan komunitas-komunitas seni yang ada di Jogja untuk mewujudkan hal itu bersama," tambahnya.
Selama 17 tahun ini, data yang tercatat oleh Rifka Annisa hampir 3050 perempuan yang mengakses layanan mereka. Melihat layanan Rifka Annisa tidak hanya mencakup wilayah DIY namun juga, Klaten dan Purworejo, jumlah klien yang mencapai ribuan ini menunjukan betapa perjuangan perempuan untuk memerdekakan diri masih sangatlah berat. Tidak hanya dari kekerasan, tapi juga dari kemiskinan, kesehatan yang buruk ataupun dari partisipasi politik.
Pada kesempatan itu, digelar juga orasi budaya guna merefleksi 17 tahun Rifka Annisa. Acara tersebut diisi pembacayaan cerpen karya Happy Salma berjudul "Aisya" yang langsung dibacakan sendiri olehnya. Melalui cerpen tersebut Happy Salma mencoba mengajak untuk menyelami dunia perempuan.
"Saya melihat bahwa hingga sekarang pun bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan masih ada. Banyak yang beranggapan karena berlatar belakang soal ekonomi atau pendidikan, namun kekerasan bisa terjadi pada siapa saja dan profesi apapun," katanya.
Selain Happy Salma, hadir juga memberikan orasi budaya yaitu Ahmad Tohari dan Ruhaeni Dzuhayatin. Dalam orasinya, budayawan Ahmad Tohari mengungkapkan tentang taklik talak yang merupakan janji atau ikrar dalam pernikahan (Islam). Janji ini seharusnya diawasi, bukan saja oleh si pengucap tetapi juga orang tua kedua belah pihak. "Belum banyak yang membahas soal itu, untuk itu saya mulai ingin lebih dibudayakan dan diberdayakan lagi," tegasnya.
Hal itu dibuktikan oleh organisasi yang didirikan sejak 26 Agustus 1993 itu dengan terus memberdayaan perempuan korban kekerasan termasuk di dalamnya anak-anak, lanjut usia dan difabel.
Selain itu, berbagai upaya sosialisasi seperti kampanye, ceramah, talkshow dan lain sebagainya terus digelar. Di usia yang ke 17 ini, dengan moto "Bekerja Dengan Hati, Berjuang Dengan Strategi", Rifka Annisa ke depan juga akan membuat program-program kegiatan dengan pendekatan di bidang kebudayaan.
"Ke depan kami ingin membuka diri dengan memasukan isu-isu tersebut pada kegiatan seni dan budaya. Karena menurut kami ini salah satu cara agar masyarakat dapat lebih mudah mengerti dengan kegiatan yang dekat dengan keseharian, sebagai kegiatan yang menjadi satu kesatuan dan bukan terpisah," ujar Direktur Rifka Annisa, Mei Shofan Rosan di acara peringatan HUT ke 17 Rifka Annisa di Jl. Jambon Yogyakarta, Kamis (26/8).
Menurutnya, masyarakat Indonesia pada umumnya dan di Jogja pada khususnya secara umum tidak bisa lepas dari kegiatan seni dan budaya, seperti upacara adat, ritual, pengajian, istigosah atau acara kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, kegiatan itu juga akan digunakan dan dimasukan oleh Rifka Annisa untuk mengangkat isu-isu perempuan.
"untuk itu kami menggandeng seniman dan komunitas-komunitas seni yang ada di Jogja untuk mewujudkan hal itu bersama," tambahnya.
Selama 17 tahun ini, data yang tercatat oleh Rifka Annisa hampir 3050 perempuan yang mengakses layanan mereka. Melihat layanan Rifka Annisa tidak hanya mencakup wilayah DIY namun juga, Klaten dan Purworejo, jumlah klien yang mencapai ribuan ini menunjukan betapa perjuangan perempuan untuk memerdekakan diri masih sangatlah berat. Tidak hanya dari kekerasan, tapi juga dari kemiskinan, kesehatan yang buruk ataupun dari partisipasi politik.
Pada kesempatan itu, digelar juga orasi budaya guna merefleksi 17 tahun Rifka Annisa. Acara tersebut diisi pembacayaan cerpen karya Happy Salma berjudul "Aisya" yang langsung dibacakan sendiri olehnya. Melalui cerpen tersebut Happy Salma mencoba mengajak untuk menyelami dunia perempuan.
"Saya melihat bahwa hingga sekarang pun bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan masih ada. Banyak yang beranggapan karena berlatar belakang soal ekonomi atau pendidikan, namun kekerasan bisa terjadi pada siapa saja dan profesi apapun," katanya.
Selain Happy Salma, hadir juga memberikan orasi budaya yaitu Ahmad Tohari dan Ruhaeni Dzuhayatin. Dalam orasinya, budayawan Ahmad Tohari mengungkapkan tentang taklik talak yang merupakan janji atau ikrar dalam pernikahan (Islam). Janji ini seharusnya diawasi, bukan saja oleh si pengucap tetapi juga orang tua kedua belah pihak. "Belum banyak yang membahas soal itu, untuk itu saya mulai ingin lebih dibudayakan dan diberdayakan lagi," tegasnya.
Kirim Komentar