Wagiman awalnya mendapat gendewo (busur panah) dari temannya. Iseng-iseng, busur itu kemudian dilepas, diblat dan digambar ke bahan kayu sonokeling atau jati. Membuat gendewo bisa jadi merupakan kegemaran baru baginya karena sebelumnya, ia bergelut membuat warangka keris.
"Gendewo gaya Mataraman memang sedikit pembuatnya, karena saat muda dulu saya gemar mengikuti jemparingan (panahan), ada hasrat untuk melestarikan benda budaya tersebut," jelas Wagiman kepada Tim Gudegnet, Kamis (29/08).
Pemilihan kayu sono keling pada busur panah akan memiliki tekstur kayu yang terlihat bagus. "Istilah orang Jawa namanya galih (bagian dalam pohon yang berwarna coklat kemerahan)," tambahnya.
Kurun waktu satu bulan, pengrajin yang memiliki workshop di Tegalrejo, Girirejo, Imogiri, Bantul ini mampu membuat 10 busur panah. 1 busur, saat ini ia jual dengan harga Rp 500.000,-. Bila ingin lengkap beserta anak panahnya, tinggal menambah Rp 250.000,-
Saat ini, kegemaran melakukan jemparingan di kawasan Yogya memang sedang meningkat. Terbukti saat Kraton Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan seperti Gladhen Hageng Jemparingan Ngayogyakarta, peminat olahraga ini cenderung ramai peminat.
Secara etimologi, jemparing Mataraman sendiri merupakan sebuah bentuk kegiatan olah fisik yang bukan semata mengandalkan kekuatan otot, tapi utamanya adalah kekuatan "manah" atau hati.
"Maksudnya, menarik anak panah menggunakan ketenangan hati. Fokus membidik menuju ke sasaran. Sebuah makna yang dalam menjadi warisan tuntunan yang tidak akan hilang kalau kelestariannya terus dijaga," tambahnya.
Ia lalu berpesan lebih bagus bila generasi muda juga turut andil melestarikan olahraga yang berbasis budaya tersebut agar apa yang dimiliki bangsa ini tidak luntur oleh arus erosi jaman.
Seni & Budaya
Lestarikan Pembuatan Gendewo Mataraman

Kirim Komentar