Yogyakarta, Indonesia - www.gudeg.net Beberapa bangunan di sejumlah wilayah di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi saksi sejarah sekaligus merekam jejak-jejak perjuangan para pemuda ketika menghadapi penjajah dari dua negara yang berbeda yaitu Belanda dan Jepang.
#1 Gedung Agung
Gedung Agung dulunya disebut Loji Kebon. Bangunan yang berdiri tahun 1824 ini berfungsi sebagai Gedung Karesidenan. Lokasinya ada di depan benteng Vredeburg. Tentunya, sebagai tempat tinggal residen, arsitektur dan tata ruang interiornya ditata bergaya Eropa dan lebih mewah. Pada halamannya ada koleksi arca-arca batu yang berasal dari berbagai wilayah di Yogyakarta yang dikumpulkan para pembesar Belanda.
Sayangnya, pada 10 Juni 1867 gedung tersebut rusak karena gempa bumi. Dua tahun kemudian, sekitar 1869 gedung tersebut berhasil dipugar kembali. Saat penjajahan Jepang, gedung tersebut menjadi kediaman Koochi Zimmukyoku Tyookan. Sedangkan saat ibukota Republik Indonesia pindah karena alasan darurat ke Yogyakarta pada 6 Juni 1946, Gedung Agung menjadi istana presiden sampai tahun 1949. Meski saat ini tidak menjadi kediaman presiden, status Gedung Agung tetap sebagai salah satu istana kepresidenan Republik Indonesia.
#2 Kawasan Bintaran
Kawasan Bintaran merupakan pengembangan pemukiman Belanda di daerah Loji Kecil dan Loji Besar (Benteng Vredeburg). Saat itu, kedua tempat itu dianggap sudah tidak bisa mengakomodasi kebutuhan warga Belanda. Menurut beberapa catatan, sebelum Perang Diponegoro, jumlah orang Eropa di Yogyakarta mencapai 400 orang.
Pada awalnya kawasan Bintaran sarananya belum lengkap. Saat itu, orang-orang Belanda yang tinggal di Bintaran masih memanfaatkan fasilitas umum di daerah Loji Kecil (mulai dari Taman Pintar sampai gedung Societet) dan Loji Besar (Benteng Vredeburg). Penambahan fasilitas berupa gereja, dan bahkan juga penjara dilakukan pemerintah Kolonial setelah jumlah penghuni di kawasan Bintaran terus bertambah. Mereka yang bermukim di Bintaran rata-rata berprofesi sebagai opsir, pemilik, atau pegawai pabrik gula di beberapa wilayah di Yogyakarta.
Gaya Eropa juga terlihat dari bentuk arsitektur bangunannya. Selain mirip pemukiman Belanda di kawasan Loji Kecil, bangunan bercorak Indis di Bintaran memiliki karakteristik khas, berbeda dengan bangunan pribumi serta halamannya lebih luas.
Rumah-rumah di kawasan Bintaran memiliki jendela-jendela besar dan atap (plafond) tinggi. Tujuannya agar sirkulasi udara lebih lancar dan mudah. Selain itu, dinding dan tiang-tiang besi sebagai struktur penyangga dibuat kokoh. Detail khas lainnya tritisan yang relatif kecil, balustrade terbuat dari teralis besi, daun pintu luar dari kayu berbentuk krepyak, daun pintu dalam dari kaca, serta memiliki pilar-pilar.
Dulunya bangunan bergaya arsitektur semacam ini menjadi tempat tinggal pejabat keuangan Puro Paku Alam VII – saat ini jadi Gedung Sasmitaloka Panglima Besar Sudirman -, tempat tinggal Yoseph Henry Paul Sagers – berubah menjadi Kantor Komando Pemadam Kebakaran -, serta bangunan pengawas militer daerah Paku Alaman – sekarang menjadi Museum Biologi serta SMP BOPKRI II.
#3 Kawasan Kota Baru
Kawasan Kota Baru dibangun sekitar tahun 1920-an. Pembangunan kawasan ini menjadi dampak logis dari pertumbuhan jumlah warga Belanda di Yogyakarta. Saat itu industri gula tebu, perkebunan-perkebunan lain, bidang pendidikan, kesehatan, serta bisnis sedang mekar-mekarnya. Dulunya Kota Baru disebut Nieuwe Wijk. Lokasinya ada di sebelah timur sungai Code tersebut. Apabila dilihar unsur-unsur fisik, jenis, fungsi bangunan, serta jaringan jalannya, kawasan Kota Baru sudah menunjukkan ciri suatu “kota”.
Kawasan Kota Baru dirancang sangat rapi dan memanfaatkan ruang dengan lebih teratur. Tata ruangnya menyerupai pemukiman di Belanda yang berbentuk radial, tidak berpatokan pada arah utara – selatan yang biasanya digunakan pada konsep tata ruang kota tradisional.
Bangunan-bangunan di Kota Baru yang bergaya arsitektur Eropa disesuaikan dengan Indonesia yang beriklim tropis. Beberapa ciri yang tampak antara lain: bangunannya kelihatan lebih tinggi dan besar, halamannya luas, jendela dan pintu besar dan mempunyai krepyak, langit-langit tinggi, hiasan kaca-timah, serta memiliki teras terbuka.
Gaya bangunan pemerintahan Kolonial itu berbeda dari masyarakat Bumiputera. Tentu saja, rumah juga menjadi representasi gaya hidup dan jati diri penjajah Belanda sebagai golongan yang berkuasa dan memiliki strata sosial di atas masyarakat awam.
Penanda lain yang menunjukkan kawasan itu menyerupai kota ialah adanya beberapa fasilitas penunjang yang relatif lengkap. Seperti gereja Katolik Santo Antonius, gereja Gereformeerde Kerk (sekarang gereja HKBP), tempat pendidikan para Imam Yesuit (Kolese Santo Ignatius), rumah sakit Petronella (sekarang rumah sakit Bethesda), rumah sakit militer DKT serta pusat olah raga stadion Kridosono.
Sedangkan fasilitas pendidikannya antara lain ELS, Normaalschool, Christelijk MULO serta AMS. Berturut-turut saat ini menjadi SD Ungaran, SMP Negeri 5, SMU Bopkri 1, serta SMU Negeri 3.
Fasilitas lainnya yang mumpuni yaitu adanya drainase untuk membuang air, baik air limbah yang berasal dari rumah tangga atau air hujan. Sedangkan selokan dirancang sangat baik sehingga selokan-selokan kecil bisa bermuara ke selokan-selokan besar lalu berakhir di sungai Code.
Karakteristik lainnya, kawasan Kota Baru mempunyai vegetasi yang lengkap berupa pohon-pohon perindang, buah-buahan, serta pohon bunga. Pohon-pohon itu ditanam baik di halaman rumah, bangunan-bangunan fasilitas, serta di sepanjang jalan atau boulevard. Selain pohon buah mangga, ada juga rambutan, jambu, belimbing manis, nangka serta pohon tanjung. Karenanya, Kota Baru disebut juga “garden city.”
Jalan Kerkweg
Sekarang sebagian besar warga Yogyakarta mengenalnya sebagai jalan Kewek atau jalan Abu Bakar Ali. Jalan ini menghubungkan Kota Baru dengan pusat kota Yogyakarta lama. Tujuannya agar hubungan antara kantor Residen, Benteng Vredeburg, Societeit, stasiun kereta api Tugu dan Lempuyangan serta tempat-tempat lainnya lebih lancar.
Masa Peralihan
Saat masa pendudukan Jepang, kawasan Kota Baru berubah fungsi menjadi perkantoran, perumahan, tangsi serta gudang. Contohnya, tempat tinggal perwira Jepang bernama Butaico Mayor Otsuka yang menempati rumah bekas karyawan Nilmij (sekarang kantor Asuransi Jiwasraya Yogyakarta).
Saat masa perjuangan, rumah Butaico menjadi tempat perundingan para pejuang. Perundingan yang dipimpin Moh. Saleh Bardasono itu membicarakan soal penyerahan senjata pasukan Jepang. Bisa jadi, itulah sebabnya, sejak awal kemerdekaan, 6-7 Oktober 1945, kawasan Kota Baru selalu “panas” karena perang antara rakyat Indonesia melawan kekuasaan penjajah Jepang.
Masa Kemerdekaan
Setahun setelah proklamasi kemerdekaan, mulai 4 Januari 1946 sampai 1949 Pemerintah Republik Indonesia memanfaatkan bangunan di Kota Baru sebagai kantor pemerintahan. Antara lain, gedung Seminari Tinggi – Kolese Santo Ignatius digunakan sebagai kanto Kemetrian Pertahanan. Christelijke MULO (sekarang SMU Bopkri I) untuk akademi militer. Normaalschool (sekarang SMPN 5) digunakan sebagai asrama Akademi Militer. AMS (sekarang SMUN 3) untuk menampung pelajar pejuang.
Sedangkan rumah Letjend. Oerip Soemaharjo di belakang Gedung Gramedia Sudirman (sekarang kantor Dinas Parsenibud Kota Yogyakarta) berfungsi sebagai titik akhir rute gerilya Panglima Besar Jend. Sudirman pada tahun 1949. Untuk kantor Kementrian Luar Negeri dipakai sebagai kantor Bidang Muskala Depdiknas.
#4 Kawasan Jetis
Kawasan Jetis yang ada di sekitar tugu Pal Putih terkait erat dengan semakin berkembangnya komunitas Belanda saat masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Saat itu lembaga-lembaga swasta seperti pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan serta pendidikan berkembang semakin pesat. Oleh karenanya, kebutuhan pengembangan wilayah hunian di luar pusat kota Yogyakarta semakin tinggi.
Ada beberapa bangunan yang bercorak Eropa yang sampai sekarang bisa dilihat antara lain Hotel Phoenix, Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijzen Djogjakarta (sekarang SMUN 11), kantor Jarahnitra, Holandsch – Inlandsche School (sekarang SLTPN 6), serta princess Juliana School (sekarang SMKN 2) markas tentara di jalan AM Sangaji , serta rumah tinggal di jalan Diponegoro yang dulunya digunakan sebagai markas IPI.
#5 Gedung Sasmita Loka
Gedung Sasmita Loka di kawasan Bintaran berdiri tahun 1890 sebagai kediaman pejabat keuangan Puro Pakualaman bernama Wijnschenk. Setelah revolusi kemerdekaan, bangunan tersebut menjadi markas Kompi Tukul dari Batalyon Suharto selama 3 bulan. Kemudian, kediaman yang sama dijadikan rumah dinas Panglima Besar Sudirman.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, gedung ini digunakan untuk fasilitas Komando Militer Kota Yogyakarta, Asrama Resimen Infanteri 13 dan penderita cacat, serta Museum TNI AD. Sejak 30 Agustus 1982 sampai sekarang bangunan ini menjadi museum yang berisi alat-alat Jendral Sudirman yang digunakan saat memimpin perang melawan penjajah Belanda.
Penulis : Al. Indratno
Editor : Al. Indratno
Kirim Komentar