Yogyakarta, Indonesia – www.gudeg.net Beberapa bangunan di Yogyakarta menyimpan pesona nostalgia serta jejak historia. Selain menarik, ada banyak cerita di baliknya. Ini 4 di antaranya :
#1 Gereja Santo Antonius van Padua
Gereja Santo Antonius Kota Baru berdiri atas prakarsa Romo F. Strater. Sebelum gereja ini ada, kegiatan agama umat Katolik di Kota Baru dilakukan di kediaman tuan Perquin (sekarang ada di depan masjid Syuhada). Dengan alasan pertumbuhan jumlah umat, lalu didirikan gereja Santo Antonius van Padua. Saat itu Romo J. Hoeberecht S.J. yang bertanggung-jawab atas pendirian gereja. Gereja yang mendapat sokongan dana dari kerajaan Belanda ini rampung tahun 1926 lalu diberkati Uskup Mgr. A. Van Nelsen S.J dari Jakarta.
Gereja Santo Antonius van Padua ini menghadap ke timur. Bentuk bangunannya memanjang. Pada bagian utaranya terdapat atap berbentuk limasan, begitu juga kanopinya. Pada sisi depan ada sebuah menara. Plafon berupa tembok berbentuk sungkup yang sangat tinggi. Tiang dari semen cor sebanyak 16 buah.
Posisi altar di sebelah barat. Pada bagian dalamnya terdapat lukisan-lukisan dinding yang dicuplik dari berbagai kisah di dalam Alkitab. Bangku-bangku di ruang utama gereja pun masih merupakan bangku lama.
Sedangkan di sisi selatan ada ruang menyiapkan serta menyimpan alat-alat upacara. Pada ruangan yang ini ada lampu-lampu, cawan-cawan kuno yang berasal dari tahun1922 serta salib yang dihiasi batu mulia. Untuk ruang pengakuan dosa ada di sisi utara dan selatan.
#2 Susteran Amal Kasih Darah Mulia
Dulunya gedung Susteran Amal Kasih Darah Mulia merupakan kediaman warga Belanda. Setelah berpindah-tangan, rumah ini berubah fungsi menjadi rumah pembinanaan para calon suster. Rumah yang menghadap utara tersebut terdiri atas dua lantai. Fasadnya berbentuk segi lima yang diapit dua ruangan di sisi kanan dan kiri. Masing-masing fasad terdapat menara kecil bertingkat tiga.
Di ruang depan terdapat tiga pintu yang berhiaskan dekorasi berupa kaca timah berwarna-warni. Interior asrama ini terdiri atas dua jenis lantai yang berbeda yaitu lantai marmer dan tegel biasa. Plafon kayunya dipernis, ada kaca timah, lampu gantung, almari kayu built-in, bufet, pelapis dinding dari kayu, bahkan sofa built in yang kondisinya masih utuh. Dilihat dari detail interior dan pernak-perniknya, diduga, dulunya asrama ini menjadi kediaman orang Belanda yang kaya raya.
Sedangkan untuk menuju ke lantai dua ada tangga kayu berhiaskan jeruji bersegi delapan. Lubang-lubang angin di dekatnya bermotif bunga. Baik jendela dan pintu ruangan dihiasi kaca timah beraneka motif. Bahkan, dulunya, seluruh dinding di ruang tengah dilapisi kayu. Namun, karena dianggap terlalu mewah bagi sebuah asrama, pelapis tersebut dibongkar dan diganti sebuah lemari. Pada sisi luar gedung berdiri sebuah balkon kecil menghadap ke utara yang berfungsi untuk menikmati pemandangan.
Pelapis kayu juga menutupi dinding ruangan di sebelah timur. Pada ruangan yang sama ada meja rias yang memiliki tiga kaca rias berbentuk elips. Kaca bagian tengah ukurannya relatif lebih besar. Dengan alasan terlalu mewah bagi sebuah asrama, meja rias ini lalu ditutup. Pada ruangan yang sama memiliki sebuah kamar mandi dalam. Diduga, dulunya bagian ini merupakan bagian pribadi serta ruang di sisi timur sebagai master bedroom.
Terbukti, para biarawati Amal Kasih Darah Mulia menjaga dan merawat bangunan ini. Karenanya, pada 2002, Gubernur DIY Sri Sultan HB X menganugerahkan penghargaan warisan budaya kepada mereka.
#3 Bekas Kantor Kementerian Luar Negeri
Bekas kantor kementrian luar negeri ini letaknya di simpul jalan dekat jembatan Gondolayu. Dulunya, diduga bangunan ini merupakan tempat tinggal. Sama persis dengan peruntukan kawasan Kota Baru saat itu. Sayangnya, nama pemiliknya tidak diketahui.
Saat Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia (4 Januari 1946 – 1949), gedung ini menjadi kantor Kementerian Luar Negeri dan Kantor Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Lalu, kantor kementrian pindah ke Jakarta, bangunan ini menjadi kantor Jawatan Kebudayaan Pusat (1950-1955); Kantor Perwakilan Jawatan Kebudayaan, Pembinaan Kebudayaan dan Kesenian; kantor Bidang Muskala Kanwil Depdikbud DIY, serta akhirnya menjadi milik Biro Umum Pemda DIY.
Awalnya, gedung ini terdiri atas sebuah bangunan utama bertingkat dua, gudang, tempat penyimpanan kayu bakar serta tandon air minum. Sedangkan ruang tengah berfungsi sebagai galeri. Pada bagian belakang ada lorong yang menghubungkan kamar para pembantu, dapur, kamar mandi serta gudang.
Gedung yang berdinding tebal ini memiliki jendela lebar serta langit-langit tinggi. Untuk daun pintu dan jendelanya berbentuk krepyak. Ada dua jenis kaca yang digunakan yaitu petak-petak kaca bening (glazen ruiten) serta kaca buram (matglas).
Ada dua tangga di sana. Pertama, di ruangan depan (voorhuis) lalu di sudut belakang rumah. Bentuk tangganya, dibuat langsung menuju ke lantai dua. Istilahnya trapboorm. Pegangannya dari kayu berukir. Di lantai dua ada balkon dan mezzanin – ruangan di lantai bertingkat yang tidak seluruhnya menutupi ruangan di bawahnya.
Sedangkan di bagian atap, pas di atas balkon, ada lucarne - jendela kecil yang posisinya pas di atas kemiringan atap. Fungsi lucarne ada dua. Selain sebagai hiasan, lucarne bermanfaat memperlancar sirkulasi udara. Sedangkan di sekelilingnya ada drainase. Ini penanda kawasan Kota Baru memang benar-benar dipikirkan secara cermat.
#4 Rumah Sakit Mata “Dr. Yap”
Rumah Sakit Mata “Dr. Yap” berdiri pada 21 November 1922. Sultan HB VIII yang meletakkan batu pertama di sana karena fasilitas kesehatan itu berdiri di atas tanah kepunyaan Kasultanan Yogyakarta. Sedangkan dana pembangunan, pengelolaan, serta penyelenggaaan berasal dari CVO (Centrale Vereniging tot Bevordering der Oogheelkunde in Nederlandsch-Indie). CVO sendiri merupakan suatu perkumpulan yang bertujuan memajukan ilmu penyakit mata di Hindia-Belanda. Setelah rampung pada 29 Mei 1923, rumah sakit ini dinamai Prinses Juliana Ooglijders Gasthuis.
Kondisi berubah. Saat penjajah Jepang berkuasa fasilitas kesehatan ini dinamai “Rumah Sakit Mata Dr. Yap”. Nama itu berasal dari dr Yap Hong Tjoen. Beliau doktor ahli penyakit mata yang mempunyai cita-cita luhur bisa membangun rumah sakit untuk mengobati penyakit mata terutama dari pasien kurang mampu.
Bangunan rumah sakit mata Dr. Yap mempunyai ciri khas fasadnya yang berbentuk “kuncungan.” Sedangkan tulisan nama rumah sakit diatur melengkung membentuk setengah lingkaran. Rumah sakit yang berdekatan dengan rumah sakit Panti Rapih ini terdiri atas bangunan utama rumah sakit, rumah dinas dokter, asrama perawat, serta Mardi Wuta - tempat menampung serta membekali ketrampilan para penyandang tuna netra.
Penulis: Al. Indratno
Editor : Al. Indratno
Sumber: Mozaik Pusaka Budaya Yogyakarta - Balai Pelestarian Purbakala Yogyakarta
Kirim Komentar